Mas, malam ini aku ingin flashback kenangan kita dulu, boleh? walaupun kau sudah sah menjadi milik gadis lain tapi masih boleh kan aku mengenangmu? mengenang kisah kita? Kuharap kau sedang tidak makan atau minum saat aku menulis cerita ini, karena menurut mitos kalo ada yang membicarakan kita saat kita makan atau minum kita bisa tersedak. Aku nggak mau kamu mengalaminya lalu bertanya-tanya dalam hati siapa yang sedang membicarakanmu.hehe
Jujur, aku tak pernah menyesal karena telah mengenalmu mas,
aku tidak pernah menyesal telah mengantar Ani menemui pacarnya sehingga aku
bisa berkenalan denganmu. Karena aku tahu Tuhan mempertemukan kita bukan tanpa
alasan, walaupun toh kita harus berpisah. Usiaku 16 tahun saat itu sedangkan
usiamu sudah menginjak 23 tahun. Tujuh tahun selisih usia kita tak terlalu
berarti untukku. Aku nyaman bila didekatmu walaupun pertemuan kita bisa
dihitung dengan jari. Jarak memang memisahkan raga kita tapi cintalah yang
merekatkan hati kita berdua sehingga jarak tak lagi bermakna.
Masih jelas dalam memoriku bagaimana cara kita menonton bola
bersama. Aku didepan tiviku dan kamu didepan tivimu tapi ponsel terus melekat
dalam telingaku saat pertandingan berlangsung. Kau memperkenalkan pemain-pemain
tiap kesebelasan, menceritakan masalah intern yang terjadi dalam tubuh tim
kesebelasan tersebut sampai gosip-gosip kecil yang melanda pemain team tersebut
dengan artis ibu kota. Hahaha... ternyata kau gosipers juga ya Mas :)
Setahun menjalin hubungan hanya telpon dan sms-mu yang rutin
mengisi hari-hariku. Jarak membuat kita jarang bertemu. Oh ya, bila aku
memintamu untuk bernyanyi kau pasti menyanyikan yel-yel kesebelasan favoritmu
dan meledek kesebelasan favoritku. Lalu aku akan pura-pura merajuk tapi hanya
tawa renyahmulah balasannya. Sehingga akhirnya kita tertawa bersama.
Suatu hari Ibuku mengetahui hubungan kita karena beliau
diam-diam membaca buku diaryku Mas, sejak saat itu Ibu memintaku untuk
menjauhimu Mas. Perbedaan keyakinan kitalah jarak sesungguhnya, jarak yang tak
akan pernah bisa kita tempuh bersama. Maaf karena tidak menceritakan hal itu
padamu dulu. Karena tak lama berselang aku mendengarmu menangis, ingin sekali
rasanya aku berada disampingmu dan memelukmu saat itu namun lagi-lagi jarak
menjadi hambatanku. Kau menangis karena Eyang Uti dipanggil untuk menghadap
Tuhan. Aku tahu kau sangat menyayangi beliau karena sejak kecil kau dibesarkan
dan tinggal bersama beliau sementara kedua orang tuamu sibuk meniti karir
mereka berdua. Aku pernah ngobrol dengan Eyang Uti sekali. Beliau sangat ramah
terhadapku walaupun beliau sama sekali belum pernah bertemu denganku.
Percayalah Mas, walaupun aku belum pernah bertemu dengan beliau aku juga merasa
sangat kehilangan saat itu.
Selama seminggu setelah Eyang Uti meninggal kau tak seceria
biasanya. Dan hari-harikupun ikut kelabu bersama duka yang menyelimuti hatimu.
Dukaku semakin dalam saat kuterima telpon darimu malam itu.
“Ta, Ibu nanyain kamu” ucapmu diseberang sana, ragu.
Entah kenapa tiba-tiba firasat buruk seolah menyapaku.
“Nanya soal apa mas?” tanyaku was-was.
“Ibu nanya aku lagi dekat dengan siapa, Ibu bilang aku sudah
tidak bisa main-main dengan hubunganku bersama seorang gadis Ta”
Aku tahu maksudmu Mas, aku dan kamu tak akan pernah memiliki
masa depan. Kau dibesarkan dalam keluarga katolik yang taat dan aku dibesarkan
dalam didikan islam yang kuat.
“Jadi mas nganggap kita main-main?” tanyaku murung.
“Aku dan kamu nggak akan pernah mau ngalah soal prinsip
kepercayaan yang kita yakini kan Ta? Kita memang berjalan dengan tujuan yang
sama tapi dalam jalan yang berbeda yang nggak mungkin bisa dipersatukan.”
“Mas sudah nemuin gadis yang sejalan?”
“Ibu baru menyuruhku untuk berkenalan dengannya, kamu harus
percaya sama mas Ta, mas nggak pernah nganggap kita main-main, mas serius
sayang sama kamu”
Aku terisak.
“jangan nangis sayang, mas mohon,mas ga bisa denger tangisan
kamu”
“Jadi Mas Indra sekarang maunya gimana?”
Kamu diam, aku tahu kamu bimbang. Kamu menghembuskan napas
berat diujung sana. Dadaku semakin sesak.
“Perpisahan yang terbaik untuk kita Ta”
Aku menangis, kau terdiam. Kau menangis dalam senyapmu. Aku
menutup telpon darimu. Semalaman aku menangis terisak pela, takut Ibu yang
sudah terlelap mendengar isakanku.
Paginya Ibu tidak membicarakan kita sama sekali. Mungkin Ibu mendengar
obrolan semalam dan tak mau aku lebih bersedih lagi dengan mengingatkanku
padamu. Hari itu juga aku mengganti nomor ponselku. Aku harus melupakanmu. Sejak
telponmu malam itu kita sama-sama tak saling menghubungi lagi. Hingga saat ini
aku tidak akan tahu bagaimana kabarmu kalau Ani tidak memberitahuku kalau kau
sudah menikah dengan gadis yang seiman denganmu. Aku turut bahagia mendengarnya
mas dan semoga kau bahagia bersamanya.
Saat kucoba mengais kenangan kita malam ini, bukan
kesedihan lagi yang kurasakan tapi rasa syukur karena telah dipertemukan Tuhan
denganmu. Biarlah album memori kita kusimpan dalam sudut hatiku yang kusiapkan
khusus untukmu. Karena kau pernah menjadi bagian special dalam chapter hidupku.
Comments
Post a Comment