Skip to main content

Undangan Pernikahan



Kulirik kalender dimeja kerjaku. Kuhembuskan nafas untuk sedikit mengurangi beban didada.  Sesak rasanya disini, dihati ini. Tanggal pernikahan itu semakin dekat dan aku semakin gelisah. Tentu itu bukan tanggal pernikahanku. Boro-boro menikah, bayangan calon suami saja tak ada alias lagi jomblo. Tapi menikah belum menjadi prioritasku sekarang. Aku masih 20 tahun dan masih banyak mimpi dan cita-cita yang belum aku wujudkan.
Sebenarnya tidak penting siapa yang akan menikah hari itu, sungguh sangat tidak penting untukku. Tapi orang yang mengundangku dan memaksaku datang yang membuatku kepikiran beberapa hari ini.
Baiklah, akan kuperjelas supaya kalian tidak bertanya-tanya siapa yang akan menikah. Seminggu yang lalu aku mendapat telpon dari Ayahku yang mengabarkan bahwa anak dari istri keduanya akan menikah.  Aku tidak mengiyakan atau menolak undangan dari ayahku. Aku hanya bilang akan sangat sibuk minggu-minggu ini.
Beliau bersikukuh agar aku tetap datang. Katanya aku harus memberikan izin karena dia adikku. Sama sekali aku tak pernah menganggapnya Adik, kalo mau nikah, nikah aja ga usah ngrepotin aku buat datang jauh-jauh ke acara pernikahannya. Lagian kalo dia merasa menjadi adikku seharusnya dia harus membayar persyaratan karena telah melangkahiku. Dan aku tak akan segan-segan meminta mobil dan rumah darinya. Biar tahu rasa.
Kenapa sih mereka mengingatku saat-saat acara seperti itu? Bisa tidak bersikap seperti 20 tahun yang lalu yang menganggapku tidak ada? Kenapa harus melibatkan aku dalam acara yang tidak ada hubungannya denganku? Berkumpul dengan orang-orang asing yang sama sekali tak ku kenal. Aku marah, ingin sekali rasanya mengumpat.
Kalau saja aku masih dengan Rafa, aku pasti bisa minta tolong padanya untuk menemaniku keacara itu sehingga aku tak mati bosan berada disana. Ahhh…. Kenapa aku masih memikirkannya setelah pengkhianatan itu.
Rafa dulunya kekasihku, orang yang memberi warna dalam hari-hariku. Tapi karena kesibukan kami masing-masing dan jarang bisa bertemu, dia mulai menjalin hubungan dengan teman sekantornya. Dia terkena cinta lokasi dan mengkhianatiku.
Tapi memang cinta selalu kalah dengan jarak dan waktu. Mudah direnggangkan oleh jarak dan gampang terkikis oleh waktu.
Aku tak akan menyalahkan Rafa, karena kalo memang dia jodohku , tidak peduli seberapa jauh jarak yang memisahkan kami dia tak akan pernah berpaling untuk mencari sosok lain yang berada didekatnya yang selalu sedia setiap saat ketika dia membutuhkannya. Aku mengakhiri hubunganku dengan Rafa dengan baik-baik. Bahkan aku tak meneteskan sedikitpun air mata ketika kata perpisahan itu terucap.
Aku lega karena telah mengetaui hal yang sebenarnya terjadi dalam hubungan kami yang sudah tidak sehat. Tapi sekarang aku merasa terbebani, karena belum ada yang bisa kuperkenalkan dan kubanggakan sebagai kekasihku saat aku harus menghadiri acara pernikahan anak ayahku itu.  Dan pasti tak akan ada orang yang bisa kuajak bicara disana. Baiklah sudah kuputuskan aku tidak akan datang dan kumatikan ponsel seharian penuh dihari dimana acara itu berlangsung. Tak akan nyaman rasanya berada dalam sekeliling orang yang tidak kita kenal dan bisa dipastikan aku akan mati bosan bila memutuskan untuk datang.

Comments

Popular posts from this blog

Berbagi Pengalaman : Patah Tulang Lengan Atas Part 2

Bagi yang belum baca part 1, bisa klik link ini http://nuergic.blogspot.co.id/2016/06/berbagi-pengalaman-patah-tulang-lengan.html                                                       Perpindahanku ke rumah sakit yang penuh drama saat itu karena aku seorang yang ngotot untuk pindah ke RS. Teman-teman dekat & teman kerja semua menyarankan untuk menunggu hari selasa saat perban tanganku diganti. Tapi waktu itu aku udah ketakutan setengah mati, vonis satu bulan hanya tiduran saja membuatku takut setengah mati. 

Dancing Under The Rain

source : google Ku pandangi wajahnya yang terlelap, aku terhanyut dalam lamunan. Ku belai rambutnya kemudian dia menggeliat. “Pelor, bangun woy” kusembunyikan rasa gugupku pada teriakku. Dia hanya menggeliat kemudian menarik selimutnya menutupi kepala.

Secangkir Kenangan #2

Courtesy ShutterStock.com “Aku besok mau ke Jogja” Jawabku singkat. Ku lempar pandanganku ke jendela. Tanganku sibuk mengaduk-aduk minuman di depanku. “Sudah malam, kamu aku antar pulang ya” Pria di depanku masih saja berkata lemah-lembut meski ku acuhkan sejak kami bertemu di café ini. Aku menggeleng. “Aku masih pengen disini” “Perlu aku temenin?” “Gak, kamu pulang duluan aja, rumahku kan dekat sini” “Kamu hati-hati ya, jangan pulang larut” Ku lemparkan senyum menenangkan agar dia segera beranjak meninggalkanku. Sebelum pergi pria itu merunduk lalu mengecup keningku singkat. Ku tenggelamkan wajahku pada kedua telapak tanganku. Seharusnya aku tak pernah membiarkan dia memasuki hidupku. Aku telah melukai perasaannya dengan tidak bisa membalas perasaannya. Seharusnya aku memberitahunya, bahwa hati ku telah lama ikut mati bersama kepergian Damar dan aku tak bisa mencintai pria manapun lagi. ---