Aku tak habis pikir. Setan apa yang merasukiku dulu
sehingga aku mantap memilih jurusan Bahasa dan mengacuhkan nasihat ibuku untuk
masuk Pendidikan Matematika. Sudah 2
semester aku menjalani kuliahku. Dan aku masih keteteran membagi waktu antara pekerjaan
dan kuliahku.
Sekarang aku sendiri yang kelabakan. Belajar sesuatu
dari nol lagi. Aku terngiang-ngiang obrolanku dengan sahabatku beberapa waktu.
“Seharusnya kamu pilih jurusan yang sudah agak kamu
kuasai Dev, jadi seumpamanya kamu udah
punya nilai kemampuan awal 5 dijurusan itu, setelah lulus nanti nilai kamu bisa
nambah jadi 8 atau 9 kalau kamu ambil jurusan yang belum sama sekali kamu
kuasai ibarat kata nilai awal kamu nol dan kalo lulus Cuma bisa dapet 5 paling
tinggi. Kamu harus tahu minat dan bakat kamu dibidang apa”
“sepertinya memang salah jurusan nih akunya” kataku
lemas
“kamu harus belajar ekstra keras mulai sekarang. Tetep semangat!” kata Nila menyemangati.
Tapi hatiku sudah mulai bimbang. Aku mulai galau.
Tidak melulu soal cinta penyebab kita galau kawan-kawan. Salah jurusan
kuliahpun bisa buat tidur tak nyenyak makanpun tak sedap. Berhari-hari aku
kepikiran omongan Nila. Haruskah aku pindah jurusan? Tapi sayang sekali aku
sudah dapat 2 semester. Dan kalau mau pindah jurusan aku harus bayar lagi
seperti baru masuk. Sayang diwaktu dan uang.
Tak kurasakan kemajuan yang begitu berarti dalam 2
semester ini. Kalau saja aku tidak ambil jurusan pendidikan aku tidak akan
segalau ini. Bagaimana bisa aku menjadi guru yang baik kalau aku sendiri tidak
terlalu menguasai materi? Bagaimana murid-muridku bisa pintar kalau gurunya
saja bodoh? Belum lagi ejekan temanku yang menambah mengurangi semangatku.
“Ngapain lu jadi guru? Bisa-bisa keselip raport
murid lu, orang lu teledor gitu”
“Lu mau jadi guru? Kabar-kabarin gue ya ntar lu
ngajar dimana, biar anak gue ga gue sekolahin situ”
“Mau jadi apa penerus bangsa ini kalau gurunya elu?”
Dan masih banyak lagi cibiran yang aku terima. Kalo
moodku sedang baik pasti kuanggap itu sebagai tantangan untuk membuktikan pada
mereka kalau aku mampu, kalau aku bisa jadi guru dan berguna untuk negaraku.
Tapi saat diriku sendiri sedang meragukan kemampuanku cibiran itu seperti
pukulan telak yang menjatuhkanku ke jurang keraguan yang semakin dalam.
“Nggak usah pindah jurusan nduk, kamu harus yakin
kalau kamu mampu, sayang waktu dan uang yang sudah kamu habiskan”
Nasihat ibu pun tak sanggup menghidupkan rasa
percaya diriku yang mulai hilang entah kemana.
“udahlah mbak, nggak usah ragu. Yakin aja kamu bisa.
Gak perlu galau lama-lama”
Motivasi dari teman-temankupun tak mampu memperkokoh
pondasi keyakinanku.
“Sama Dev, aku juga ngerasa seperti kamu. Mungkin
karena kita terlalu banyak bekerja dan kurang belajar aja. Kita kan lebih
dituntut aktif untuk belajar sendiri. Nggak akan pernah cukup waktu 6 jam dalam
seminggu untuk membuat kita pintar”
Kata Anisa sahabatku yang mengambil jurusan
pendidikan matematika menyadarkanku. Jadi bukan salah jurusan yang membuat aku
merasa belum mendapat cukup ilmu tapi waktu belajar yang sedikitlah masalahnya.
Aku mengadu pada Allah dan keyakinan untuk tetap
melanjutkan apa yang telah kupilih. Aku harus bisa mempertanggung jawabkan
pilihanku.
Tapi dari dulu aku tak pernah tertarik untuk belajar
sendiri. Aku saja tidak begitu mengerti materinya, mau belajar sendiri bagaimana?
Kalau salah tidak ada yang menegur dan memperbaiki.
Aku mulai kehilangan semangat lagi. Apalagi mengenai
pronunciation yang membuatku cukup kelabakan. Aku memang merasa aku kurang
dalam bidang bahasa. Pelafalanku sendiri dalam bahasa daerahku dan bahasa
Indonesia aja sering salah. Suka gagap dan tidak bisa bicara panjang lebar
didepan umum.bisa dibilang ngomongku masih belepotan oleh karena itu aku
mengambil jurusan bahasa.
Jadi kalau aku dituntuk belajar sendiri mana bisa
aku tahu aku salah atau benar.
Semester 3 nilaiku jeblok karena kehilangan galau
yang tak berujung. terlebih lagi aku banyak bolos karena lebih memprioritaskan
pekerjaanku.
Aku menyesal, nyesek rasanya melihat nilaiku yang
hanya segitu. Aku marah pada diriku sendiri. Semangatku kembali berapi-api. Aku
harus lebih baik lagi. Apalagi setelah Eyang kakung meninggal. Motivasiku
semakin bertambah. Eyang kakung dulu juga seorang guru. Tapi karena mendapat
fitnah dari salah satu teman kerja yang tidak menyukainya beliau harus pensiun
muda.
Akan ku buktikan aku bisa. Akan kubuat Ibu dan
keluargaku bangga, Eyang kakung tersenyum disurga. Dan teman-teman yang mendukungku bahagia
karena motivasinya tak berakhir sia-sia.
Dan usahaku akan terbayar saat anak-anak memanggilku
Ibu Guru :’)
semangaaat yaaa...
ReplyDeleteaku juga mengambil prodi pendidikan.. bisa dibilang aku juga salah jurusan, karena aku basic nya suka biologi, tapi malah ke matematika, aku ga suka mtka, tapi aku cuma bisa ngerjain soal-soalnya aja, sebenarnya yang kurang cuma rasa cinta aja sih,, tapi semoga aku mencintai profesi guru nantinya :) semangaat kakak
halo! saya mau numpang share juga. saya sekarang juga merasa galau jurusan, saya basicnya suka bahasa, baca,tulis pokoknya tentang sastra juga deh. tapi saya juga hobby gambar. pas kls 3 dlu saya pingin milih sastra inggris, tapi karena jurusan saya ipa,saya takut kalau ntar yang diprioritaskan yang dari IPS, makanya saya milih jurusan Desain Produk dan akhirnya ketrima. sampai sekarang sih saya masih kebayang - bayang sama sastra, galau mau coba lagi tahun depan apa nggak. :(
ReplyDeleteTernyata aku nggak sendirian ya :'D Tetep semangat! Bukan jurusannya yang salah kok, kalo kita mau belajar menyukainya pasti bisa ^^9
ReplyDeletesemangat kakak ! aku juga salah jurusan kok tapi yah bagaimana lagi sampai sekarang aku masih belum bisa move on :'(
ReplyDelete