Skip to main content

Moment yang Selalu Ku Rindukan




“Ayo bangun, subuh dulu”
Aku mengerang.
“Bukannya ada stock?”
“Eh, subuh”
“Eh, aku pasti masih kebawa mimpi” batinku.
“Ayo subuh” Ibu menggoyang-goyang tubuhku sambil menggelitikku. Aku mengerang , melirik jam yang tertera di handphoneku sambil memicingkan mata.
5.03 AM
“5 menit lagi Bu” aku menarik selimut menutup muka, ku dengar langkah ibu meninggalkan kamar
2 menit kemudian.
“Ayo bangun subuh” Ibu menyingkap selimutku membangunkanku lagi.  
Aku bangun, dalam posisi duduk ku raih handphoneku. Kulirik jam dihandphone
5.05 AM
“3 menit” Aku kembali merebahkan tubuh ke kasur. Ibu pergi, masih sabar.
10 menit kemudian.
“Belum bangun-bangun iki piye? Ayo bangun subuh, ini bukan Jakarta, udah siang, lihat mataharinya udah diatas kepala blablabla….”
Ibu sudah mulai emosi. Aku bangun. Terduduk dikasur lalu memeluk Ibu.
Ibu mengelus rambutku. “Ayo subuh, udah siang” Kata-kata Ibu kembali melembut.
Aku bangun terseok-seok menuju kamar mandi.
---

Terima kasih Tuhan sudah memberikan Ibu yang sabar dan lembut untukku yang bandel, dan mempunyai mood yang mudah berubah tak tahu waktu. Yang terkadang bisa menjadi gadis cerewet dan tak  jarang menjadi gadis super pendiam. Saat-saat berada didekatnya merupakan hal yang kurindukan siang dan malam.

Comments

Popular posts from this blog

Berbagi Pengalaman : Patah Tulang Lengan Atas Part 2

Bagi yang belum baca part 1, bisa klik link ini http://nuergic.blogspot.co.id/2016/06/berbagi-pengalaman-patah-tulang-lengan.html                                                       Perpindahanku ke rumah sakit yang penuh drama saat itu karena aku seorang yang ngotot untuk pindah ke RS. Teman-teman dekat & teman kerja semua menyarankan untuk menunggu hari selasa saat perban tanganku diganti. Tapi waktu itu aku udah ketakutan setengah mati, vonis satu bulan hanya tiduran saja membuatku takut setengah mati. 

Dancing Under The Rain

source : google Ku pandangi wajahnya yang terlelap, aku terhanyut dalam lamunan. Ku belai rambutnya kemudian dia menggeliat. “Pelor, bangun woy” kusembunyikan rasa gugupku pada teriakku. Dia hanya menggeliat kemudian menarik selimutnya menutupi kepala.

Secangkir Kenangan #2

Courtesy ShutterStock.com “Aku besok mau ke Jogja” Jawabku singkat. Ku lempar pandanganku ke jendela. Tanganku sibuk mengaduk-aduk minuman di depanku. “Sudah malam, kamu aku antar pulang ya” Pria di depanku masih saja berkata lemah-lembut meski ku acuhkan sejak kami bertemu di café ini. Aku menggeleng. “Aku masih pengen disini” “Perlu aku temenin?” “Gak, kamu pulang duluan aja, rumahku kan dekat sini” “Kamu hati-hati ya, jangan pulang larut” Ku lemparkan senyum menenangkan agar dia segera beranjak meninggalkanku. Sebelum pergi pria itu merunduk lalu mengecup keningku singkat. Ku tenggelamkan wajahku pada kedua telapak tanganku. Seharusnya aku tak pernah membiarkan dia memasuki hidupku. Aku telah melukai perasaannya dengan tidak bisa membalas perasaannya. Seharusnya aku memberitahunya, bahwa hati ku telah lama ikut mati bersama kepergian Damar dan aku tak bisa mencintai pria manapun lagi. ---