Semua orang pasti memiliki sebuah rumah, tempat di mana dia
ingin pulang, tempat yang membuatnya nyaman dan mampu membuatnya terlelap. Tak
melulu sebuah bangunan dengan beberapa kamar, tapi rumah bisa berarti sesuatu
yang membuatmu rindu untuk pulang, merasakan peluknya menghangatkan tubuhmu
yang kedinginan.
Aku memiliki sebuah rumah, jauh, sangat jauh dari Ibu kota tempatku
memperjuangkan nasib. Perlu 17 jam paling cepat bila dijangkau lewat jalur
darat untuk pulang. Empat tahun aku meninggalkannya, dia semakin menua.
Rumah yang ku rindukan hanya ku singgahi paling lama 2
minggu dalam satu tahun, 14 hari saja dalam jangka 365 hari. Tentu sangat
sebentar sekali.
Tempat favoritku ketika di rumah selain kamarku tentunya
adalah teras. Di situ aku terbiasa melihat orang-orang lewat. Ada kalanya aku
mengingat nama mereka, tapi kebanyakan aku hanya mengingat wajahnya tanpa tahu
namanya. Orang yang ku jumpai berbeda tiap tahunnya, mereka tumbuh, mereka
menua, ada juga yang memiliki kehidupan baru, sebuah keluarga kecil yang
bahagia. Sementara aku hanya menua, belum menghasilkan apa-apa.
Selama empat tahun pergi meninggalkan rumah, banyak hal yang
terjadi dalam hidupku. Banyak kejadian penting yang aku lewatkan karena aku
tinggal sangat jauh dari rumah. Aku selalu telat, dan pada akhirnya penyesalan
menghantui hidupku.
Tahun pertama aku meninggalkan rumah tahun 2009, Ibuk,
wanita nomor satu yang paling ku sayangi dan paling berharga dalam hidupku
mengalami kecelakaan motor yang cukup serius. Aku sama sekali tak dikabari
mengenai hal tersebut. Barulah ketika aku pulang dan melihat bekas luka di
wajah dan beberapa bagian tubuh Ibu yang lain, kronologi kecelakaan yang
menimpa Ibuk meluncur dari bibir Ibuk.
Tak lama, aku harus kembali ke Jakarta. Beberapa hari
setelah kembali dalam rutinitasku di Ibu Kota, aku mendapat kabar lewat telepon,
mengabari bahwa Mbah Wedok jatuh dan harus dioperasi. Aku tak bisa pulang dan
hanya bisa mendoakan dengan buliran air mata. Alhamdulillah, operasi mbah wedok
berjalan dengan lancar.
Pada bulan maret 2011, lagi-lagi aku mendapat berita buruk,
lewat telepon tentu saja. Mbah Buyut, Ibu Mbah Wedok, sedang kritis. Ibu
memintaku untuk pulang.
Setelah melewati 17 jam di jalan, sampailah aku di rumah. Mbah Buyut sudah tak
sadarkan diri, nafasnya terdengar berat sekali. Tanpa berganti baju, aku terus
di sampingnya, turut berbaring di sampingnya hingga tertidur. Jam 12 siang, Ibu
membangunkanku untuk sholat dan makan. Dengan langkah gontai ku tinggalkan mbah
Buyut. Nasi sudah di piring, tapi belum sesuap nasi masuk, Mbah Wedok
memanggilku memberitahu bahwa Mbah Buyut sudah tiada, aku menangis tanpa suara,
air mataku mengalir dengan deras tanpa bisa ku kontrol. Inilah kedua kalinya
aku melihat kematian setelah kematian Mbah Buyut Lanang, suami mbah Buyut
ketika aku masih kelas 3 SMP.
Tahun 2012, Mbah Kakung sakit dan harus dirawat di rumah
sakit, jatuh di kamar mandi awal mulanya. Berkali-kali mbah Kung mengalami
masa-masa kritis tapi mampu dilaluinya. Setelah sadar dari koma, Ibu mengabari
lewat telepon. Mbah Kung ingin bicara denganku. Dalam percakapan singkat kami,
aku bertanya, oleh-oleh apa yang ingin aku bawakan untuk mbah Kung kalau aku
pulang nanti.
“Kelengkeng yo nduk” suara
mbah kung yang serak dan masih lemas menjawab pertanyaanku.
Aku pun menyanggupi permintaan mbah kung. Aku berencana
pulang beberapa hari kemudian, tapi Karena ada rapat yang tak bisa ku tinggal,
aku baru bisa sampai ke terminal Pulo Gadung pukul 9 malam. Tak sempat membeli
apapun untuk oleh-oleh. “Ahh, kelengkeng
bisa dicari nanti setelah sampai rumah” batinku kala itu.
Pertama kali melihat mbah kung sesampainya di rumah, aku
ingin menangis. Mbah kung yang dulu tinggi, besar dan gagah kini terlihat kurus
dan rapuh. Jalannya pun tak lagi tegap, sedikit membungkuk seperti menahan rasa
sakit. Tapi aku bersyukur mbah Kung sudah sehat dan bisa tinggal di rumah.
Setelah 2 hari di rumah, aku kembali ke Jakarta. Aku belum mendapat buah
kelengkeng yang diminta mbah Kung. Penjual buah di pasar terdekat, tak ada yang
berjualan kelengkeng.
“lagi gak musim mbak”
begitu jawab para penjual buah bila aku bertanya.
Bila pulang lagi, aku pasti akan membawa kelengkeng buat
mbah Kung.
19 April 2012, tepat sebulan sebelum aku berulang tahun, lagi-lagi
dering telepon mengabarkan hal buruk. Mbah Kung sudah tiada. Aku bahkan belum
sempat membelikan kelengkeng. Hal yang ku sesali hingga kini. Aku sampai rumah
keesokan harinya (20/4/2013). Mbah Kung sudah dikebumikan. Seikat kelengkeng
yang ku beli menjadi jamuan untuk tetangga yang mengaji di rumah. Ketika aku bertemu
Mbah Yi, istri mbah Kung yang juga adik mbah wedok yang ku lihat hanya
kekosongan di matanya. Separuh jiwanya telah ikut pergi bersama mbah kung.
Tepat satu tahun kemudian, siang itu 19 April 2013, dering
telepon membawa lagi kabar buruk. Kali ini satu orang lagi yang meninggalkanku
untuk selama-lamanya, Mbah Yi. Aku lebih ikhlas, setidaknya mbah Yi sudah bisa
bertemu mbah Kung, tak lagi kesepian. Aku masih bisa menyembunyikan tangisku di
depan teman-temanku. Tak ada dari mereka yang mengetahuinya, hingga aku
mengutarakan niat untuk pulang dua hari kemudian. Aku tidak bisa segera pulang,
lagi-lagi karena pekerjaan yang tak bisa ku tinggalkan.
Dalam waktu empat tahun, tiga kali kehilangan orang
terdekatku berturut-turut membuatku was-was ketika jauh dari rumah. Mungkin aku
tak akan lagi menyebut rumah untuk sebuah bangunan yang memiliki beberapa kamar
ini. Karena tanpa orang-orang yang paling ku sayangi di dalamnya, bangunan
tersebut tak lebih dari bangunan usang tak bernyawa. Kini, aku tak sanggup
berlama-lama di rumah mbah Kung dan mbah Yi. Rasanya rumah tersebut seperti
berabad-abad tak ditinggali. Terasa sepi, dingin dan menyeramkan. tak lagi
nyaman dan sehangat dulu yang membuatku betah berjam-jam bermain atau sekedar
tidur siang.
Kini, setiap tahun berganti aku menjadi cemas, akan adakah
dering telepon pembawa kabar buruk lagi? Akankah aku kehilangan satu rumah
lagi?
Aku menjadi pembenci dering telepon kini. Dering telepon
seperti pertanda kabar buruk. Membuat perasaanku tak nyaman, membuatku gusar
dan ingin membantingnya agar dia diam.
Setiap dering telepon dan panggilan masuk selalu membuat
hidupku tak lagi sama. Membuat rumahku tak seramai dulu lagi.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKamu bener, rumah itu sbnernya bkn cm bangunan tp org2 yg ada didalem bangunan itu sendiri. klo mereka ga ada ataupun berubah jd mreka yg ga lagi kita kenal, rumah rasanya ga lagi kyk rumah :'
ReplyDelete