Tetes demi tetes hujan mulai membasahi tanah yang kekeringan. Tapi hujan kali ini terasa suram. Serasa langit ikut bersedih karena mendung yang menaungi hati Zea. Kualihkan pandanganku dari notebookku. Zea masih melamun memandang rintik hujan. Aku tau hatinya sedang tak lagi disini. Semangatku menulis hilang, padahal hanya beberapa menit yang lalu ilham serasa menghampiriku setelah begitu lama bungkam. Aku harus menyelesaikan novelku bulan ini. Deadline membuatku stress dan tertekan. Tapi kesedihan sahabatku lah yang turut menambah tekanan hati yang kualami belakangan ini. Kustel notebookku pada mode sleep kemudian kuhampiri Zea.
Kuremas pundaknya dari belakang. Dia hanya melirik sekilas dan tersenyum. Tapi senyumnya hanya kedok untuk menyembunyikan lukanya.
---
Dua hari yang lalu...
“Kupikir aku yang bodoh Nay, karena telah memilih untuk jatuh hati padanya. Aku merasa tak pantas untuknya, aku tak berani berharap dia punya perasaan yg sama untukku. Setelah sekian lama aku coba mengubur perasaanku hidup-hidup, hanya perih yang selalu menghampiri dan aku selalu mencoba menimbunnya dgn menyalahkan diriku atas luka yg kubuat sendiri. Dan saat semua telah sangat terlambat saat aku tahu cintaku tak pernah bertepuk sebelah tangan, memikirkannya membuat hatiku semakin sesak. Mungkin lebih baik aku tak perlu tahu hal itu” Kata Zea sore itu. Kesedihannya berlahan menyelimuti hatiku dan Alita. Aku, Zea dan Alita mulai kenal dan dekat semenjak bekerja pada tempat yang sama.
“Kesalahan konyol dan teramat sangat tolol” aku mendengus kesal.
“Seharusnya tak akan berakhir seperti ini kalau lu bisa jujur dengan perasaan lu Zee, kenapa sih selama ini lu harus mengelak” Alita tak kalah berapi-apinya denganku. Aku mengangguk mengiyakan.
"Aku minder Lit,aku merasa lancang atas perasaanku” aku menghela nafas berat “Ya sudahlah gak ada yang salah dalam masalah ini, jodoh memang sudah diatur sebelum kita lahirkan? Kalo memang akhirnya dia harus dimiliki wanita lain berarti dia bukan jodohku, it’s simple truth”
Tuhan, apakah memang ini jalan yang sudah kau atur. Tinggal sedikit saja mereka bertemu dalam satu titik yang bisa kusebut cinta tapi dengan kuasa-Mu dengan mudahnya Kau membelokkan salah satu diantara mereka dan akhirnya berpisah sebelum seharusnya mereka bertemu dititik tersebut.
Aku gemas, aku kesal. Padahal bukan aku yang sedih karena orang yang aku sukai akan menikah dengan wanita lain. Karena jodoh tak berpihak padaku. Tapi melihat ketololan ini aku ikut-ikutan meradang.
“Zee, kalau seandainya bulan lalu Zidan melamarmu dan meminta untuk menikah secepatnya apa lu siap?” tanyaku hati-hati.
“Insyaallah” Kudengar nada yakin dalam suaranya “tapi sudahlah jangan berandai-andai, kesempatan itu sudah lewat”
Lelaki yang telah menawan hati sahabatku Zea adalah Zidan. Pria jangkung dengan sosok yang sederhana. Mudah membaur dengan orang-orang baru walaupun kadang dia lebih suka diam dan memasang earphone kesayangannya. Sosok yang religius terlukis jelas dalam kesehariannya. seseorang yang mampu membuat Zea jatuh hati pada pandangan pertama. Karena kesederhanannya dan sisi religiusnya. Kutemukan banyak kesamaan dalam diri mereka. Sama-sama religius, penganut faham anti pacaran, orang yang lebih suka diam tapi tak jarang membuat banyolan yang membuat kami semua tertawa terbahak-bahak. Bahkan semua rekan kerjaku mendukungku dan Alita untuk menjodohkan mereka. Tapi Zidan akan melangsungkan pernikahannya dengan wanita lain satu bulan lagi.
“anggap ini pelajaran buat lu Zee, jangan pernah membohongi perasaanmu dan menutup-nutupinya lagi”
“Jadi maksud lu gue harus bilang, ZIDAN I LOVE YOUUU didepan dia gitu?” Zea memandang aku dan Alita bergantian lalu tertawa. tapi tawanya terdengar seperti rintihan luka ditelingaku. Bibirnya boleh saja tertawa tapi matanya ta kan pernah bisa berbohong. Ada mendung gelap yang bergelayut disana.
Aku dan Alita saling berpandangan. Muram.
----
“Cerita lu yang kemarin nggak bohong kan mbaak?” tanyaku ragu-ragu pada Mbak Ayu saat kebetulan makan siang bersama.
“Buat apa gue bohong untuk masalah yang menyangkut perasaan?” mbak Ayu menjawab kesal karena pertanyaanku barusan. “Zidan nanya sama gue Zea baik-baik aja apa nggak trus dia bicara panjang lebar kalau dulu pernah ada niatan untuk melamar Zea. Tapi dia tidak bisa menunggu lama karena takut fitnah apalagi mereka kerja dalam satu kantor” Mbak Ayumengulang informasi yang disampaikannya padaku Zea dan Alita 2 hari yang lalu.
“Kalau pengen ngelamar kenapa nggak ngomong? Siapa yang bakalan tau maunya orang bisu”
“Mana gue tau, yasudahlah berarti bukan jodoh”
“tapi mereka nyaris berjodoh mbak”
“iya berjodoh tapi nyaris, jujur gue ikut kesal karena tinggal sedikit lagi saja dan mungkin orang yang dinikahi Zidan bulan depan adalah Zea”
“Seharusnya Zidan sebagai seorang lelaki bisa lebih berani mengungkapkan perasaannya pada Zea” aku mendengus kesal.
---
“Zea... lu tetep mau dateng?” tanyaku hati-hati.
“Emang kenapa sih Nay, gue turut bahagia kok” Jawab Zea dengan suara yang dibuat-buat ceria sambil membetulkan bross dijilbabnya.
“yakin lu bakalan kuat?”
Zea mengalihkan pandangannya dari cermin dan menatapku.
“Nay, percaya sama gue, gue gak papa, Allah selalu punya rencana terindah dibalik cobaan yang diberikan untuk hamba-Nya kalau Zidan bukan jodoh gue Allah pasti sudah menyiapkan jodoh yang baik buat gue” Zea mengakhiri omongannya dengan senyum ikhlasnya dan kembali memfokuskan diri didepan cermin memperbaiki dandanannya.
Aku meninggalkan Zea tapi sebelum aku benar-benar menutup pintu kamarnya aku melihat semburat kesedihan dalam matanya. Dia bisa berpura-pura tabah dan ikhlas tapi aku tahu pasti dia menyimpan kesedihan dalam hatinya. Satu pelajaran yang bisa kuambil dari pengalaman Zea adalah jangan pernah membohongi perasaanmu sendiri. Karena penyesalan akan selalu datang belakangan. Jatuh cinta memang mudah, melupakan dan mengikhlaskan orang yang kita cintai tak pernah semudah jatuh cinta padanya.
Comments
Post a Comment