source : gambar.co |
Aku telat. Sudah ku pacu motor ku dengan kecepatan maksimal. Tapi apa daya aku tinggal di Jakarta. Kecepatan maksimalku di jalan raya hanya 20 km/ jam tersendat-sendat karena macet yang luar biasa.
Aku merasa
gagal sebagai seorang sahabat. Sudah telat datang, aku tak mengabarinya lewat
sms karena pulsaku tersisa Rp. 0,- untuk menelpon Tasya sejak semalam,
memastikan dia baik-baik saja dalam perjalanannya ke Jakarta.
Ting!
Satu pesan
singkat masuk dari Tasya
Sayang kok langsung
pergi? Km ga kangen aku? :(
Aku ingin buru-buru membalasnya tapi aku
teringat sisa pulsa yang ku miliki. Segera ku pacu motorku berbalik arah menuju
rumah Tasya.
---
Aku mengobrol seharian dirumah Tasya. Banyak hal yang kami bicarakan, rasanya rindu
ini tak akan pernah berkurang sedikitpun. Indahnya jatuh cinta untuk kesekian
kalinya.
“Kamu tadi kemana?”
“Aku ke kosan Tama, tapi dia udah berangkat”
“Sayang, sedekat apa sih kamu sama dia? Tasya
memandangku curiga.
Ku balas tatapan Tasya, ku genggam tangannya.
“Aku sama Tama Cuma sahabat, karena
satu-satunya gadis yang aku cintai sekarang ada di depanku” ku cium punggung
tangan Tasya. Dia tampak tersipu malu.
“Gombal”
---
“Hai sayang”
Tanpa pemberitahuan
tiba-tiba Tasya muncul di depan kamar kosku. Ku lihat pakaian yang dikenakannya
dari atas sampai bawah. dia memakai rok mini berbahan jeans diatas lutut,
yaiyalah diatas lutut kalo diatas mata kaki namanya bukan rok mini. Atasannya berupa
tank top putih yang dipasangkan dengan bolero. Sebagai seorang pria aku pasti suka
melihat penampilan cewek-cewek yang
dandanannya seperti Tasya bila sedang cuci mata di mall-mall. Tapi karena Tasya pacarku tentu saja aku tak
menyukainya berdandan seperti ini. Dia boleh berdandan seksi tapi hanya boleh
untukku, lelaki lain diluar sana tak boleh menikmati kecantikan tubuhnya dalam balutan pakain minim bahan seperti sekarang. Aku tak rela.
“Kamu kenapa
pakai baju kaya gitu?” nada tak suka jelas tersirat dalam nada suaraku.
“Kamu gak
suka? Jelek ya?” Tanyanya manja
“Kamu cantik
sayang, tapi aku nggak suka pria lain memandang kamu dengan tatapan kurang ajar”
Tasya
tertawa. “Itu kan memang konsekuensinya kalau mau tampil cantik”
“Tanpa
berpakaian seminim itu kamu tetap cantik”
“Minim? Please
deh sayang, penampilanku wajar, nggak berlebihan. Kamu kok jadi kolot kaya gitu
sih?”
“Bukannya
aku kolot, aku nggak suka aja kamu jadi korban tatapan cowok-cowok kurang ajar
diluar sana”
“Oke,
sekarang kamu maunya gimana?”
“Aku antar
kamu pulang ganti baju, baru kita jalan”
Ku sambar
jaket yang ku gantungkan dibelakang pintu.
Ku gandeng
tangan Tasya keluar dari area kos ku.
“Kita nggak
pakai motor kamu?”
“Nggak
dengan baju yang kaya kamu pakai, kita naik taksi aja”
Selama di
taksi kami saling diam. Pikiranku sibuk membanding-bandingkan wanita yang dulu
ku cintai dengan gadis yang sekarang duduk menyandarkan kepalanya dibahuku. Dulu
Tasya gadis yang sederhana dan sedikit pemalu. Cara berpakaiannya anggun dan sopan,
roknya saja selalu dibawah lutut, tak kurang dari 10 cm. mungkin cowok-cowok
lain akan mengatainya cewek culun, tapi ku rasa inner beauty-nya lebih
terpancar sehingga dia menjadi lebih cantik dengan penampilan sederhananya.
“Sayang,
kamu marah?” tanya Tasya memecah keheningan yang menyelimuti kami berdua.
“Nggak”
jawabku singkat.
“Kenapa dari
tadi diam?”
“Nggak
apa-apa”
“Tuh kan
marah” Tasya merajuk. Dia memang bukan Tasya yang ku kenal dulu.
“Nggak kok
sayang” ku cium kening Tasya. Dia mempererat pelukannya dilenganku.
“Aku sayang
kamu” kata Tasya lirih.
---
“Sayang?”
panggil Tasya dengan nada agak tinggi.
“Ya-a?” aku
tergagap, panggilan Tasya membanting pikiranku kembali ke bumi.
“Kamu
kayanya gak enjoy jalan sama aku hari ini” Tasya meminggirkan gelas
minumannnya. Menatapku kesal.
Ku tandaskan
minumanku yang masih setengah.
“Maaf
sayang, aku kepikiran Tama. Sudah seminggu ini aku nggak bisa hubungin dia”
“awal-awalan
magang kan memang sibuk sayang, by the
way , kamu kangen sama Tama?”
“Iya.. Eh,
nggak. Aku ngerasa nggak enak aja sama dia, aku kan janji mau ngantar dia ke
bandara waktu itu tapi aku malah telat, aku juga belum sempat minta maaf”
“Udah kamu
sms?”
“Udah, tapi
nggak dibalas sama dia”
“Kamu kan
udah sms, udah minta maaf ya udah donk gak usah dipikirin terus”
“Tama kan
sahabat aku yang”
“Sudahlah, kan
ada aku disini, seminggu lagi aku balik ke Jogja lho, kamu nggak mau habisin
waktu lebih lama sama aku?”
---
Semalaman
aku tak bisa tidur, main game online yang biasanya selalu ampuh mengalihkan
pikiranku yang sedang kacau malah memperburuk moodku. Tama sama sekali tak
memberi kabar padaku. Aku jadi berpikiran yang tidak-tidak seminggu ini. Aku takut
pesawat Tama jatuh di laut atau menabrak gunung, Oh Tuhan semoga tidak!!
Ku habiskan
waktu ku sesore tadi untuk mencari berita pesawat jatuh, tapi untung saja hasil
pencarianku nihil. Tama masih baik-baik saja. Mungkin dia kesal dan marah
kepadaku. Tapi bisa saja handphonenya masuk ke kloset saat dia di kamar mandi
lalu rusak tak bisa dipakai. Pikiranku sibuk menerka-nerka alasan Tama tak menghubungiku dan kenapa dia tak bisa ku
hubungi. Aku semakin khawatir dibuatnya.
Tiba-tiba
ponselku berbunyi tapi dimana aku menaruhnya? Ku singkap selimut dan bed cover
kasurku, nggak ada. dia meja komputerku, nggak ada. Aha! Akhirnya ketemu dikolong
tempat tidur.
“Tama
panjang umur” batinku senang.
Bahuku merosot.
Bukan nama Tama yang tertera di layar ponsel yang sedang riuh berkedip-kedip.
Tasya yang
menelpon.
Aku sedang tak ingin mengobrol dengan siapapun
kecuali Tama.
“What’s going on Ferry? Do you miss her, Fer?” aku tersontak kaget dengan pertanyaan dalam
pikiranku sendiri.
“Do I miss her?” aku menggumamkan kata itu perlahan.
Baru
seminggu tanpa Tama rasanya hatiku kacau, otakku tak lagi dikepala. Aku tak
bisa menikmati kebersamaanku bersama Tasya. Bahkan barusan, aku sama sekali tak
mengangkat telpon dari Tasya, aku sama sekali tak ingin mengobrol dengannya,
wanita yang selalu ku koar-koarkan pada Tasya sebagai satu-satunya wanita yang
ku cintai.
“Ada apa
sama elo Fer?” Aku menjambak rambutku kesal.
Ku nyalakan
komputerku dan ku sambungkan ke internet. Aku berniat menuliskan email untuk
Tama. Bila dia tak bisa ku jangkau melalui telpon dan sms, aku akan menerornya
melalui email.
To : tama_agustine@ymail.com
From : ferry_ganteng@yahoo.com
Tamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!
Kalo lo denger suara gue
barusan gue jamin
gendang telinga lo langsung sobek saking kencengnya suara gue!
Lo kemana aja? Ngilang gitu aja
nggak ngabarin.
Kalo lo marah sama gue karna gue telat dateng buat nganter lo ke bandara ok gue minta maaf sebesar-sebesarnya dan sebanyak-banyaknya. Tapi cara lo jgn gini buat bales dendam donk Tam, gue bisa gila.
Really miss you,
Ferry
|
Ku klik
tombol send, ku harap Tama akan
segera membalasnya.
Handphone ku
berdering semalaman. Tapi tak ku acuhkan karena pikiranku sedang sibuk dijajah
semua hal tentang Tama.
---
Seperti
dugaanku, Tasya pasti akan marah besar dan ngajakin ribut karena semalaman ku
biarkan saja panggilan masuk darinya.
“Aku
ketiduran abis ngerjain tugas sayang” elakku setelah dia memberikan kesempatan
untukku membela diri.
“Boong,
pasti semaleman elo sibuk mikirin cewek itu”
Nada
peringatan berbunyi. Pasti Tasya marah besar kalo dia sudah memakai kata ganti
elo untukku.
“Cewek yang
mana?” tanya ku bingung.
“Siapa lagi
kalo bukan Tama”
Aku
tergelak.
“Kenapa
ketawa? Ada yang lucu?” tanyanya sinis.
“Cuma kamu
yang nganggep Tama cewek, teman sekampus nggak ada yang nganggep dia cewek. ,
sebagai cewek dia sudah nggak diakui eksistensinya. Kamu harus ketemu dia, dia
itu cara berpakaiannya mirip cowok, suka ngopi, tapi sayang kalau disebut cowok
dia juga gagal, nafasnya pendek nggak bisa olah raga, jogging satu putaran
lapangan basket kampus aja kehabisan nafas”
Tasya
beranjak meninggalkanku yang masih tertawa terpingkal-pingkal hanya dengan
mengingat kembali tingkah laku Tama selama ini.
“Sayang”
panggilku sambil mengejarnya, ku tarik lengannya agar dia berhenti.
Tasya
mengibaskan genggamanku. Dan melotot sebal ke arahku.
“Fer,
sebaiknya kita putus aja, bukan aku lagi yang ada di hati kamu, dia udah
menggeser posisi aku di hati kamu Fer”
Tasya masuk
kedalam rumahnya, sedangkan aku masih shock dengan omongan Tasya barusan.
---
“Fer, sebaiknya kita putus aja, bukan aku
lagi yang ada di hati kamu, dia udah menggeser posisi aku di hati kamu Fer”
Sesampainya
di kamar kos ku kata-kata Tasya masih memenuhi kepalaku.
“Benarkah seperti
yang telah dikatakan Tasya? Aku telah jatuh cinta dengan Tama? Sejak kapan?”
Aku tertawa
sumbang. Selama ini, aku selalu menceritakan Tasya, Tasya dan hanya Tasya
kepada Tama. Tapi saat Tasya berada didepanku, aku malah lebih sering
membandingkan Tasya dengan Tama, otakku
dipenuhi oleh Tama.
“Fer, lo
jadi cowok harus tegas! Sebenarnya elo suka sama Tasya apa Tama?” Ku maki
bayanganku di cermin.
Handphone ku
berdering. Sebuah nomor baru tertera disana. Ku tekan tombol hijau tapi aku
diam tak menjawab.
“Fer”
Suara itu,
suara yang ku harapkan siang dan malam. Lidahku kelu, semua kata-kata yang
ingin ku lontarkan pada Tama menguap begitu saja.
“Hallo, Fer?”
“Tama”
“Sorry Fer”
Kata Tama singkat.
“Sorry
sorry, Lo gila ya, gak ngabarin gue sesampainya disana. Ada cowok yang lebih
ganteng dari gue disana? Apa elo mau balas dendam karena gue telat dateng buat
nganter lo ke bandara. Tega lo Tam sama gue, tega!”
“Fer, sorry!”
Tama membentakku.
“Gimana
kabar elo Tam?” suaraku berubah melunak.
“Gue baik,
elo sama Tasya gimana?”
“Gue udah
putus sama dia, lo kapan balik?”
“Lo putus,
kenapa?”
“gue naksir
cewek lain, lo kapan pulang?”
“Siapa lagi
yang elo taksir? Marsya? Alita? Fila?”
“Bukan salah
satu dari mereka” jawabku kesal.
“Trus siapa?”
“Makanya elo
pulang biar elo tau siapa dia”
“Gue pasti
pulang Fer, kalo tugas magang gue udah selesai”
“Perlu gue
susul kesana?”
“Buat apa? Lo
mau magang di Medan juga? Gak bisa jauh-jauh dari gue lo?” ku dengar tawa Tama
disebrang sana.
“Iya, gue
gak bisa jauh dari elo”
Hening. Tama
tak bereaksi dengan tanggapanku.
“Tam?”
panggilku memastikan sambungan telpon kami tak terputus.
Ku dengar
Tama berdeham.
“Gue serius
Tam, gue ngrasa ada yang kurang sejak lo pergi”
“Fer, lo
mabok”
“Tama
Agustine, gue serius! Lo kapan pulang? Apa perlu gue jemput elo buat pulang?”
“Gue bakal
pulang kalo tugas magang gue udah selesai”
“Tama, I really
miss you”
“Fer”
“Gue sayang
sama elo Tam”
Hening. Ku dengar
isakan Tama.
“Tam, are you okay there?”
Hening.
“Tama, please jangan buat gue ketakutan disini”
“Nyalain aja
lampunya”
“Sinar hidup
gue lagi di Medan nggak mau pulang, gue gelap-gelapan disini”
“Ferry, stop it, please!”
“Tama, lo
sayang juga gak sama gue?”
“I do Fer, I do love you”
“Iyeeeeesssssss”
Aku
meloncat-loncat kegirangan. Joget harlem shake diatas divan.
“Fer”
“Besok aku
susul kamu ke Medan”
Malam ini
tidurku pasti akan nyenyak, tak lagi risau seperti biasanya. Cintaku tak
bertepuk sebelah tangan. Tama juga mencintaiku. Tapi sejak kapan? Aku tak sabar
menyusulnya ke Medan segera. Tak merasakan Tama di sekitarku membuatku tak hidup. Aku benar-benar baru menyadarinya lewat tamparan kata-kata Tasya sore tadi. Aku benar-benar merasakan kehilangan saat tak ada Tama disisiku. Saat dia pergi ke pulau lain demi menjauhiku. Ternyata Tama tak kuat melihatku kembali bersama
Tasya.
Untuk Tasya,
semoga kamu menemukan pria yang benar-benar mencintai kamu, pria itu bukanlah
aku. Karena hatiku tanpa ku sadari telah berhasil dicuri oleh gadis lain, sahabatku
sendiri, Tama.
Baca juga yang ini : Cinta Tak Terucap - Tama
--The End--
Baca juga yang ini : Cinta Tak Terucap - Tama
seperti kata pepatah, "sesuatu akan lebih terasa berharga ketika sesuatu tersebut sudah hilang."
ReplyDeletenice cerpen. lanjutkan! ehemmm *benerin kerah baju*
@ben kunuhuk *benerin jilbab* Thanks Ben :D
ReplyDelete