Alunan music
jazz mengalun ringan mengisi kesunyian antara aku dan seorang pria didepanku. Kuamati
dia yang kini membuang pandangannya jauh entah kemana memalui jendela besar
café yang sering kami datangi berdua. Air mukanya keruh, seperti ingin
melampiaskan emosinya tapi tertahan oleh suatu hal. Aku menunggunya sabar,
menunggu tumpahan emosinya yang bisa kapan saja tertuang melalui bibir
tipisnya.
“Lo mau
pulang sekarang?” tanya pria didepanku, setelah kembali dari lamunannya.
“nggak, gue
masih pengen disini”
“yaudah gue
tungguin”
“Kalo lo
emang gak mood buat cerita ke gue sekarang nggak apa-apa Fer”
Dia hanya
mendengus.
“Lo ga
nyadar gue duduk diem disini liat muka kusut lo Cuma buat denger tumpahan
uneg-uneg lo setelah ketemu Tasya?”
“Sebenarnya
gue mau cerita soal Tasya, tapi gue masih terlalu sakit buat nginget itu semua”
Aku tertawa,
sekedar untuk mengurangi atmosfir yang tidak nyaman.
“lo emang
selalu bisa ketawa diatas penderitaan gue ya”
“gue bukan
tertawa karena penderitaan lo ya, tapi kalimat lo barusan itu aneh aja dikuping
gue”
“gue sendiri
juga aneh kok, gak tau kenapa gue jadi cowok mellow kaya gini” dia bedecak
kesal
Aku menepuk
punggung tangannya.
“wajar buat
cowok yang nggak bisa move on dari mantannya selama bertahun-tahun” aku
mengerling jenaka
Dia tertawa
“Sialan lo”
“Gue berubah
pikiran, anterin gue pulang yuk”
“siap
nyonyaahh” dia mengacak-acak rambutku.
Ferry
mengantarku sampai depan gerbang rumah dengan motor Ninja yang dia banggakan
setelah dimodif total dan mengharuskannya puasa selama berbulan-bulan.
“Besok ada
kelas gak?”
“Ga ada sih
Fer, tapi ada yang perlu gue urus buat persiapan magang gue”
“ke kampus
jam berapa?”
“ngumpulin
mood gue dulu, biasalah godaan kasur kan selalu bikin gue pasrah gak bisa
apa-apa”
“dasar muka bantal, kalo mau ke kampus kabari
aja, siapa tahu gue juga lagi mood buat kesana”
“pasti lah, kapan sih gue nyia-nyian
gratisan?”
Dia tertawa, aku ikut tertawa.
“sampai ketemu besok bantal” dia menstarter
motornya lalu rangka besi bermesin itu membawa serta dirinya
Aku melambaikan tangan. Mengawasinya sampai
hilang ditikungan.
Aku dan Ferry mulai bersahabat semenjak kami
mengerjakan tugas bersama. Kebetulan aku berpasangan dengannya. Tapi karena dia
mengalami kecelakaan sehingga harus istirahat dirumah sakit terpaksa aku mengerjakan
tugas kelompok sendirian. Setelah dia keluar dari rumah sakit dan mulai
mengikuti mata kuliah kembali, dia membawakan coklat kesukaanku. Entah lah
sejak itu kami menjadi dekat dan bersahabat sampai sekarang.
Kami mulai berbagi cerita, dia selalu
menceritakan daftar panjang gadis-gadis kampus yang berhasil dicuri hatinya. Tapi
lama kelamaan aku tahu, dia hanya menikmatinya sebagai selingan, sebagai obat
tidur untuk orang yang mengalami gangguan susah tidur. Ketika ku korek lebih
dalam akhirnya suatu sore ketika kami mengawali semester dua dengan setumpuk
tugas meluncurlah pengakuan tentang satu gadis yang benar-benar telah berhasil mencuri
hatinya hingga sekarang. Nama gadis itu
Tasya.
“lo masih ada fotonya?”
Dia meringis, “selalu ada didompetku foto
kita berdua ketika resmi jadian”
Ferry sudah hampir mengeluarkan dompet dari
saku celananya.
“No, gue gak mau liat foto didompet lo karena
pasti udah kucel, dilaptop lo nggak ada?”
Dia sumringah dan terlihat bersemangat.
Pandangannya beralih pada laptop didepannya. Dia kemudian menunjukkanku sebuah
folder yang hanya bersi foto gadis tersebut. Tubuhnya mungil, dia cantik dan
tampak… rapuh, dia adalah salah satu
ciptaan Tuhan yang akan mengundang rasa sayang dan membangkitkan hasrat
ingin melindungi pada diri siapapun setelah pandangan pertama itulah penilaian
awalku terhadap gadis itu.
“pantes lo tergila-gila sama dia” aku
mengangguk-angguk. Memandang slide show foto gadis tersebut yang diambil dari segala
sudut. Saat itu juga aku menyadari satu
rasa yang nampak asing dihatiku. Cubitan-cubitan cemburu yang tak pernah ku
rasakan sebelumnya ketika Ferry sedang berkencan dengan gadis-gadis pil
tidurnya.
Ku lirik Ferry yang tak bergeming.
“dimana dia sekarang Fer?” aku lanjut
bertanya.
“dia kuliah di Jogja, kota impiannya dari
dulu” wajah Ferry tampak suram.
“kalian gak bisa long distance relationship?
Itu alasan lo putus sama dia?”
Ferry mengangguk “itu kesepakatan kami
berdua, gue gak bisa LDR, diapun juga sama kami memutuskan putus waktu itu.
Tapi sampai saat ini gue menyesali keputusan kenak-kanakkan gue Tam,
gue masih sangat mencintainya, mungkin seharusnya dulu gue yakinin dia
buat jalanin LDR bareng gue”
“Sekarang dia sudah punya pacar?”
“Sudah, 3 bulan setelah disana dia langsung
punya pacar”
“Jadi lo sama Mona?” otakku berputar
menganalisa kesamaan waktu pertama Ferry resmi jadian sama Mona teman sekelas
kami disemester pertama.
“gue jadian sama Mona sehari setelah gue tau
Tasya punya pacar baru”
---
Tepat jam 7 pagi, satu jam sebelum alarm yang
kustel semalam melakukan tugasnya membangunkanku ponselku sudah
berteriak-teriak menerima panggilan dari Ferry.
“Tama tidur, bangunin satu jam lagi” ku tekan
tombol merah mengakhiri panggilan.
Ferry tak jera, dia kembali membuat ponselku
berteriak kesetanan.
“Tama tidur, bangunin satu…”
“Tamaaaaaaa” suara melengking Ferry membuatku
menjauhkan ponsel dari telingaku. Takut telingaku akan mengalami gangguan
setelahnya.
“Fer, kalo dinovel yang gue baca, Cuma cewek
yang melengking kaya lo barusan kalo telat dijemput” ku kucek mataku sambil
menguap
Ferry tertawa disebrang sana.
“Officially, Jam bangun gue masih satu jam
lagi tapi karena lo ganggu lo utang satu mangkok bakso sama gue” aku kembali
menguap.
Semalam setelah pulang dari De café, aku
lembur menyelesaikan proposal magang hingga subuh tapi si devil-alarm sudah
menginterupsi waktu tidurku.
“lo tidur jam berapa semalem?”
“jam 4 dodol”
“ngapain aja lo, nonton drama korea?”
“enak aja, gue nyelesaiin proposal magang gue
dul”
“sorry deh, tidur lagi gih”
“mana bisa….” Aku mencoba membuat suara
meninggi tapi malah tersedak.
“yaudah, mau dijemput jam berapa?”
“dateng 2 jam kedepan ya, gue mau baca ulang
proposal gue”
“Ok, see you there ya”
“hmm”
Aku menyeret kakiku menuju kamar mandi untuk
cuci muka.
Aku tertegun sesaat memandang bayangan dicermin.
Aku mencoba tersenyum, tapi yang kulihat
adalah bayangan zombie yang memamerkan sederet giginya. Aku bergidik ngeri.
Setelah membuat segelas teh melati hangat,
aku kembali menyibukkan diri didepan laptop yang setia menemaniku dalam
suka-duka tugas kuliah.
Aku mangajukan proposal magang diperusahaan
berskala internasional di Medan. Cukup jauh memang. Tapi harus, aku harus
berhenti menyandu bau parfum Ferry yang membaur bersama keringatnya. Entah
sejak kapan aku menyadari perasaan ganjil ini, merasa deg-degan sekaligus
nyaman bila menghirup aroma khas Ferry.
Merasa lengkap bila didekatnya dan mulai merasa cemburu bila mendengar
ceritanya tentang Tasya.
Ku tutup laptopku kasar. Geram karena
perasaan campur aduk yang berkecamuk dihatiku. Lama-lama aku bisa gila bila tak
segera menjauh darinya. Aku belum memberitahu Ferry soal rencana magangku di
Medan, dia belum bertanya sama sekali dan aku memang tak berniat memberitahunya
sampai didetik terakhir keberangkatanku nanti.
Ku sesap sedikit demi sedikit teh melatiku
sambil memejamkan mata. Ku atur nafasku agar menjadi lebih stabil.
Kunyalakan kembali laptopku, setelah
kupastikan semua beres. Ku sambungkan kabel printer ke port USB. Sambil
menunggu semua dokumenku tercetak kubaringkan tubuhku kembali ke kasur, mataku
terpejam lelah.
Samar-samar ku dengar ketukan pintu dan suara
pria memanggil namaku. Ku kerjapkan mata berkali-kali untuk mengumpulkan nyawa kembali.
“Tam, Tama ini gue” itu jelas suara Ferry
diselingi ketukan pintu kamar kosku.
“Bentar Fer”
Aku bangun lalu membukakan pintu untuk Ferry.
“sorry gue ketiduran lagi” aku meringis
sambil mengucek mataku.
“kebiasaan”
“Fer”
“hmm”
“keberatan gak nunggu didepan, gue mau mandi
dulu” aku kembali meringis memamerkan gigiku yang belum tersentuh odol.
“bikin kopi dulu”
Tanpa sungkan Ferry mengambil mug dan
menyeduh kopinya sendiri.
“ntar mampir ke alfa ya”
“ngapain?”
“stock kopi gue disini abis” dia mengacungkan
bungkus kosong nescafe kesukaannya.
“Oohh”
---
“Gue liat-liat lo kayanya murung trus
beberapa hari ini” Ferry memulai pembicaraan denganku sambil menunggu pesanan
bakso kami.
“lagi jatuh cinta” jawabku sekenanya
“kalo cinta bikin lo sedih, tinggalkan”
Aku mendongak memandangnya sekilas “lagi
diusahain”
Kami berdua kemudian sama-sama diam.
“lo belum cerita soal Jogja kemarin”
Sebelum bertemu di café semalam, Ferry
mendatangi Tasya untuk meyakinkan gadis itu untuk kembali padanya.
“setelah gue utarain niat gue buat ngajak
balikan dia nangis trus minta dianter pulang” kini keceriaan yang terukir di
muka Ferry menguap begitu saja
“dia masih cinta sama lo juga sepertinya”
“I wish”
Kami kembali diam, berkelana dalam dunia
lamunan masing-masing. Tak berapa lama bakso pesanan kami datang.
Ku tambahkan bersendok-sendok sambal kedalam
baksoku, hampir 7 sendok ketika Ferry
mencekal tanganku yang bersiap menambahkan kembali sambal dimangkok baksoku.
“lo gila ya? Sayangi lambung lo, Tam”
Aku bergeming.
“lo nggak apa-apakan Tam? Lo lagi dapet?”
Dia selalu tahu, ada yang tak beres pada
diriku bila aku menambahkan bersendok-sendok sambal dikuah baksoku.
“Gue mau magang di Medan Fer” aku sengaja
mengatakannya untuk melihat ekspresi diwajah Ferry.
“jauh amat? Gue bisa kesepian kalo lo pergi
jauh”
“lo masih bisa telpon or sms gue, tapi
feeling gue bilang lo gak bakal kesepian, Tasya pasti nerima ajakan lo buat
balikan”
“tetep aja bakalan berasa beda tanpa lo Tam”
“gak akan sesedih waktu lo pisah sama Tasya
kok” kupaksakan tersenyum walaupun bibirku kering
“lo tetep best friend gue Tam, gak bisa lo
cari tempat magang disini aja?”
Aku menggeleng, “udah dapet acc, minggu depan
gue berangkat ke Medan”
Ferry melotot “lo udah selangkah didepan gue
aja Tam”
Aku menjulurkan lidahku, mengejek.
“udah bener-bener bulet?”
Aku
mengangguk mantap. Kami kembali menyantap bakso diselimuti sunyi. Aku sedikit
kecewa, ekspresinya tak menyiratkan kehilangan sama sekali.
---
Seminggu berlalu begitu cepat. Ku tatap koper
kecil yang tergeletak disudut kamar. Kamar kos ku sudah rapi. Sebagian barang
sudah aku kirim via JNE 3 hari yang lalu ke alamat kos ku di Medan. Aku
memiliki teman yang kuliah disana, dia yang sudah berbaik hati mencarikan
tempat kos yang dekat dengan tempat magangku.
Ku tatap ponselku. Ferry belum menghubungi
sama sekali. Dia bilang dia akan mengantarku setelah menjemput Tasya. Iya,
Ferry dan Tasya resmi balikan. Tasya pulang ke Jakarta untuk melepas rindu pada
keluarganya dan tentu saja melepas rindu pada Ferry.
Taksi yang ku pesan sudah datang dan menunggu
di depan. Ferry tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Ku hela nafas panjang.
“Aku tak berhak kecewa seperti ini, dia
sedang bahagia bertemu kembali kekasihnya tapi kenapa aku sedih begini, Tama bodoh”
gumamku lirih.
Ku masukkan koperku dalam bagasi taksi. Aku
bergeming di sisi taksi dan sesekali menengok ketikungan, berharap Ferry
datang. Tapi nihil.
Ku tarik nafas panjang setelah menelan pil
kekecewaan yang telah ku racik sendiri bercampur harapan kosong tentang Ferry.
*freepukpuk*
ReplyDeletebaryaw kakaks.. :3
ReplyDeleteMakasih semuanya, nanti *freepukpuk*-nya disampaikan ke Tama ya :")
ReplyDelete