mike tagle photography |
“Dijodohkan?”
Alisku bertemu, dahiku berkerut-kerut. Oh please, segitu desperate-nya kah Ibu
memandangku? Oke, aku memang… ku akui aku memang sudah melajang selama 3 tahun.
Tak pernah terlihat menggandeng pria manapun dalam 3 tahun ini. Tapi dijodohkan?
Itu kata-kata paling kuno yang pernah ku kenal. Ini bukan lagi jaman Siti
Nurbaya. Aku menghirup nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan bicara.
“Dengan
siapa aku dijodohkan Bu?” aku mencoba menahan intonasi suaraku agar tetap
terkontrol.
“kamu
masih ingat sama Bu Harjo?”
“Jadi
aku dijodohkan dengan anak yang nakalnya melebihi dedemit itu?”
Tentu
aku masih kenal Bu Harjo, seorang yang sikap dan cara bicaranya seperti Putri keraton.
Tapi jangan pikir anak laki-lakinya
mewarisi sikap Ibunya yang lemah lembut itu. Aku tak pernah lupa kejadian
dimana dia mencorat-coret boneka Barbie kesayanganku. Dia menggambar kumis dan
alis pada Barbie dengan spidol permanen yang tak bisa dihapus. Aku menangis
seharian sampai Ibu kesal dan akhirnya membuang boneka barbieku. Setelah
kejadian itu aku tak pernah mau menyapanya lagi hingga 10 tahun yang lalu dia
pindah ke Medan karena Ayahnya dipindahtugaskan kesama. Aku merasa duniaku
kembali ceria semenjak dia tak bergentayangan lagi disekitarku.
“Dia
sudah berubah Dila, sekarang dia sudah jadi pria mapan dan dewasa yang bekerja
di Bank Internasional lho”
“Tetap
saja dia yang sudah mencorat-coret Barbie kesayangan Dila” aku memberengut
kesal.
Ibu
tertawa setelah mendengar pernyataanku.
“kamu
ini, sudah hampir 20 tahun berlalu masih belum bisa lupa kejadian itu” kata Ibu
sambil menahan senyum.
“Biarin”
“Akhir
minggu ini Ibu Harjo dan Erwin mau kesini”
“Ngapain
Bu? Dila kan nggak setuju dijodohkan”
“Kamu
liat dulu orangnya yang sekarang, Erwin sekarang digilai banyak gadis lho, apa
kamu nggak kangen 10 tahun nggak ketemu Erwin?” Ibu mengerling menggodaku.
“Pokoknya
aku nggak mau ketemu Erwin”
“Yasudah
kalau kamu nggak mau ketemu Erwin, tapi kamu bisa kan jadi wanita dewasa yang
bisa menjaga sikap didepan tamu kita, didepan Bu Harjo?”
“Pak
Harjo ikut datang juga?”
“Pak
Harjo nanti datang kalau mau ngelamar kamu buat Erwin”
“Ibuuuuuu!!!”
Aku menjerit kesal sedangkan Ibu hanya tertawa dan beranjak ke dapur.
Kedua
orang tua Erwin yang membantu ibu untuk survive semenjak kematian Bapak 19
tahun yang lalu. 2 hari setelah insiden Barbie, Bapak pergi untuk membelikanku
Barbie yang lain karena melihatku rewel dan mogok makan. Tapi takdir berkata
lain, ketika Bapak akan menyebrang ke Toko Boneka tiba-tiba sebuah truck
menabrak motor Bapak. Bapak terlempar dari motor dan meninggal ditempat. Saat itu
aku masih belum mengerti. Aku bingung melihat banyak orang berbondong-bondong
kerumah memakai baju serba hitam. Ibu menangis sehingga aku ikut menangis. Aku mencari-cari
Bapak karena aku takut banyak orang asing dirumah. Tangisanku semakin kencang,
Bu Harjo kemudian menggendongku dan memberikanku permen lollipop. Ibu Harjo
mengarang cerita untukku, “Orang-orang datang untuk memberikan apresiasi
terakhir mereka kepada Bapak Dila dan ingin titip salam untuk Tuhan sama Bapak.
Bapak Dila akan kerumah Tuhan di surga”
Tapi
semakin bertambahnya usiaku aku semakin tahu, Bapak telah meninggal dan tak
akan pernah kembali. Dan semenjak saat itu aku mulai membenci Erwin. Kalau saja
Erwin tidak mencorat-coret Barbie ku, Ibu tidak akan membuangnya dan jika Ibu
tidak membuangnya aku tidak akan rewel sehingga Bapak tak akan pernah pergi
kemana-mana sore itu dan mengalami kecelakaan naas yang merenggut nyawanya.
---
“Wah
wah Dila sekarang semakin cantik ya” Puji Tante Harjo sambil cipika-cipiki
dengan ku.
“Makasih
tante, tante juga masih tetep cantik masih seperti terakhir Dila ketemu Tante”
“Kamu
ini bisa aja, itu kan sudah 10 tahun yang lalu, keriput tante sekarang udah ada
dimana-mana, usia nggak pernah bisa bohong Dila”
Aku
hanya tersenyum, berusaha bersikap sopan tanpa sekalipun memandang Erwin.
“Erwin
juga sekarang jadi gagah dan tampan ya” ibu menyahuti omongan Ibu Harjo.
Aku
melirik Erwin sekilas. Lengan kemejanya digulung sampai siku. Andai saja dia
bukan Erwin yang itu, pasti aku akan dengan senang hati menerima perjodohan
ini. Karena ku akui dia memang tampan dan mempesona. Oh my Ghost, apa yang baru
saja ku pikirkan? Mempesona? Hell no!!
“kamu
kok ngelamun la?” Tanya Ibu Harjo.
“Oh
gak kok tante” aku tersipu malu ketahuan melamun ditengah obrolan Ibu dan Ibu
Harjo.
“Kamu
ngobrol-ngobrol sama Erwin gih ditaman belakang, Ibu sama Bu Harjo mau reunian”
“Iya
tant, yuk La” ajak Erwin. Kami memang belum mengobrol sama sekali dan aku tidak
mengacuhkannya sejak dia menyentuh dudukan sofa.
“Udah
sana gih” sahut Ibu Harjo.
Aku
beranjak dari tempat dudukku dan mengikuti Erwin dibelakangnya. Erwin berjalan
mantap tanpa salah memasuki ruangan menuju taman belakang. Sesampainya disana
Erwin duduk di kursi yang biasa ku pakai bersama ibu mengobrol sepulang kerja
sambil minum teh bersama. Ku putuskan duduk diayunan kayu yang berjarak 2 meter
dari Erwin, memainkan daun-daun tanaman Ibu.
“Lo
taukan La kalo kita dijodohin?” Erwin memecahkan keheningan diantara kami.
“Tau”
aku menatap sepatuku tanpa melihat Erwin.
“Lo
setuju?”
“Tentu
saja nggak, gue gak mau dijodohin sama lo!” nadaku meninggi.
“kenapa?”
“hah?
Lo Tanya kenapa? Lo yang udah bikin Ibu buang boneka Barbie kesayangan gue!”
“Ya
ampun La, it’s almost 20 years ago dan kamu belum lupa sampai sekarang?” Ku
lihat Erwin tersenyum frustasi.
Aku
mendengus kesal.
“Akan
aku belikan seribu Barbie kalau itu memang bisa buat kamu maafin aku”
“Seribu
Barbie nggak mampu untuk membuat Bapak kembali lagi kesini” jawabku dalam hati.
“Jangan
berharap gue terima perjodohan ini, dan jangan harap lo terima maaf dari gue”
Aku
beranjak meninggalkan Erwin tapi kemudian dia mencekal tanganku.
“Siapa
juga yang mau dijodohkan dengan wanita kenak-kanakan kaya lo”
“That’s
fine, ayo kita bilang ke Ibu gue dan Tante Harjo kalau kita ga setuju”
“Nggak,
gue ga akan bilang apapun ke mereka”
Aku
mengibaskan tanganku dan Erwinpun melepasnya.
to be continue...
Comments
Post a Comment