“Jangan suka bercita-cita tinggi, cita-cita tinggi Cuma
punya orang yang beruang, masuk kuliah itu berapa juta, duitnya dari mana?
eling ndug Ibu mu itu Cuma buruh nyuci, kalau kamu mau nerusin sekolah lagi apa
ndak kasihan sama Ibumu, ga isitirahat dan terbebani sama biaya kuliah kamu
nantinya yang mahal, mbok ya kamu kerja saja, biar ibu mu nggak terlalu kerja
keras, bisa istirahat, kamu dapat duit, dapet barokah surga juga bisa
bantu-bantu ibu kamu”
Bu Dhe Tini, memberiku wejangan panjang lebar setelah aku
mengutarakan keinginanku melanjutkan sekolah di Akbid, akademi kebidanan.Hatiku
menciut, aku ingin menangis karena berani bermimpi. Belum melambung terlalu
tinggi saja mimpiku sudah dipatahkan, hingga remuk berkeping-keping. Sejak saat itu aku takut bermimpi, karena mimpi hanya untuk mereka yang beruang.
Ku renungkan perkataan Bu Dhe Tini, aku memang tidak terlalu
menonjol disekolah, kecerdasanku rata-rata, aku pendiam dan tak pernah aktif di
organisasi sekolah. Kalau aku mengharapkan beasiswa sama halnya seperti aku
mencari sebuah jarum ditumpukan jerami. Aku menyerah, masuk sekolah kebidanan
tidak murah, aku tahu itu. Darimana Ibuk dapat uang sebanyak itu, kalaupun
harus berhutang, siapa yang mau memberi pinjaman pada buruh cuci yang pendapatannya
tak seberapa? Dan kalaupun ada yang meminjamkan uang pasti Ibuk hanya sanggup
mencicil bunganya saja tiap bulannya. Aku menghembuskan nafas berat.
“Kamu kenapa tha nduk, dari tadi kok murung saja” kata-kata
Ibu membuyarkan lamunanku. Beliau membelai rambut ikalku dengan lembut.
“Nggak apa-apa Bu, oh ya Bu aku sekarang kerja paruh waktu
di butik dekat sekolah, jadi mulai bulan depan Insyaallah Ibu nggak perlu kasih
uang jajan ke Ayu”
Ibu menarik kursi didepanku.
“Kamu ndak usah kerja paruh waktu kalau itu bisa ganggu
belajar kamu, ibu nggak mau, kamu dapet duit nggak seberapa tapi nilai kamu
pada anjlok”
“nggak kok bu, kalau memang akhir semester ini nilai Ayu
jelek Ayu akan berhenti kerja”
“yowis, ibuk pegang kata-kata kamu ya” Ibu beranjak menuju
dapur. “ oh ya tadi Ibu ketemu bu dhe Tini, katanya kamu tadi mampir dan
ngajarin Bagas baca ya?”
Bagas adalah cucu pertama Bu Dhe Tini yang baru masuk TK.
Usianya kira-kira baru 5 tahun.
“iya Bu, tadi rencananya Cuma mampir bentar buat nganterin
Loyang kue yang ibu pinjam kemarin tapi disuruh ngajarin Bagas baca dulu”
Ku dengar ibu tertawa.
“Kata Bu dhe Tini, Bagas jadi tambah pinter setelah kamu
ajarin, katanya kamu juga telaten ngajarin bacanya”
“trus budhe Tini ngomong apalagi sama Ibu?” tanyaku waspada.
Aku takut budhe Tini menceritakan juga keinginanku untuk melanjutkan sekolah di
Akbid. Aku memang belum membicarakan hal tersebut pada Ibu.
“Bu dhe Tini mau bilang ke Mbak Widi buat nawarin kamu
ngajarin baca Bagas, ada uang saku katanya”
“Ooohh” tanpa sadar aku menghela nafas lega.
“daripada kamu kerja di Butik, mending kamu ngajarin Bagas
baca saja sehabis magrib atau sore sepulang sekolah”
Aku hanya menggumam, memikirkan nasihat Ibu. Tawarannya
lebih menarik.
“mbak Widi kan belum tentu mau Bu”
“Kata Bu dhe Tini mbak Widi emang lagi nyari guru les kok,
kamu kan tahu mbak Widi sibuk kerja nggak sempet ngajarin Bagas baca tulis”
“kalau Bu dhe Tini kasih kabar lagi, bilang saja Ayu mau bu”
kata-kataku terdengar sangat bersemangat.
Tiba-tiba semangatku surut. aku sadar, kalau aku sering bertemu dengan bu
dhe Tini, mimpiku akan benar-benar mati.
---
Di sebuah senja ibuk memberitahuku bahwa mbak Widy memintaku
untuk mengajar Bagas. Hari pertama aku mengajar Bagas bu Dhe Tini arisan, aku
aman. Hari kedua beliau ada kondangan. Aku bisa bernafas lega. Aku memang tak
ingin bertemu dengan budhe Tini, takut beliau mengungkit-ungkit pembicaraan
kami tempo hari. Tapi hari ketiga akhirnya aku bertemu dengan Bu dhe Tini.
Rasanya aku menahan nafas selama mengajar Bagas.
“udah selesai ya Yu?”
“sudah budhe” jawab ku sambil merapikan buku pelajaran Bagas.
“Budhe seneng liat cara kamu ngajar Bagas, dia makin pintar
saja yu”
Pipiku menghangat mendengar nasihat budhe Tini.
“kamu cocoknya jadi Guru saja, kamu sayang sama anak-anak,
kamu juga ada bakat mengajar”
Bu dhe melanjutkan kata-katanya melihat aku diam. “Mas Danu
sekarang sudah semester 5 loh yu, bu dhe gak ikut bantu bayar uang kuliahnya
sama sekali’
“dapat beasiswa budhe?” tanyaku antusias.
“nggak, mas Danu kerja dulu setahun, ngumpulin uang buat
bayar masuk kuliah kan sekarang banyak Universitas yang buka kelas karyawan lho
jadi siang kamu kerja, malam kamu kuliah”
Aku tertarik. Aku sangat tertarik dengan cerita budhe Tini.
“kamu punya nomor hpnya mas Danu?”
Aku menggeleng.
“nanti budhe kasih, kalau kamu minat kamu tanya-tanya mas
Danu sendiri saja ya”
---
“Bu Ayu, kalau yang ini caranya gimana ya Bu?”
Seorang murid menghampiri mejaku sambil membawa bukunya.
“yang mana Ranti?”
“rumus yang dipakai untuk mengerjakan soal ini yang mana
bu?”
Aku menjelaskan hingga Ranti benar-benar mengerti lalu dia
kembali ke tempat duduknya. Aku sangat menikmati peranku sebagai guru bagi
anak-anak didikku. Aku menyayangi mereka seperti adik yang tak pernah kumiliki
selama ini.
Aku sangat berhutang budi pada Budhe Tini, orang yang dulu
pernah kuanggap sebagai pembunuh mimpiku tapi nyatanya beliaulah yang
membukakan sebuah jalan untukku meraih mimpi yang lain. Setelah lulus SMA mas Danu menawariku pekerjaan dikantor temannya dan setahun kemudian aku melanjutkan pendidikanku di Universitas Swasta di Jakarta. Dan disinilah aku sekarang, mengabdikan diri dan memanfaatkan ilmu yang kuperoleh. Membagi mimpi dengan anak-anak didikku agar mereka tak takut untuk mengejar mimpinya.
Jangan pernah takut
bermimpi teman, mimpi bukan hanya dimiliki oleh orang yang beruang tapi mimpi
juga dimiliki oleh orang yang mau berusaha dan tak kenal menyerah.
Comments
Post a Comment