Erwin kembali lagi dalam hidupku, pria yang sangat ku benci karena dialah penyebab Bapak meninggalkanku dan Ibu untuk selamanya. Dia kembali karena perjodohan yang direncanakan oleh Bu Harjo dan Ibu.
---
Seminggu
berlalu sejak kedatangan Erwin dan Ibu Harjo. Aku menghadapi hariku seperti
biasanya. Tapi ada yang aneh pagi ini. Saat aku sedang bersiap-siap berangkat
ke kantor ku dengar ibu bercakap-cakap dengan seseorang dan sesekali tertawa
akrab.
Jatungku
hampir saja copot melihat seseorang didepanku. Yang menduduki kursi dimana aku
terbiasa menikmati sarapan pagiku.
“Ngapain
dia disini Bu?” Tanyaku dengan nada agak tinggi kepada ibu.
“Hush…
wanita gak baik ngomong kasar didepan tamu”
Ibu Melotot padaku lalu wajahnya berubah hangat saat menatap Erwin.
“Nggak
apa-apa kok Bu, Aku mau jemput kamu Dila” Kata Erwin lembut sambil memandangku.
Aku
tertegun sesaat memandang mata Erwin. Ada kelembutan dan ketulusan dalam sorot
matanya.
“Nggak
perlu, aku sudah punya langganan taxi” Aku meliriknya sekilas lalu mendekati
Ibu untuk pamit.
“Ibu lupa bilang sama kamu, Istrinya Pak Dwi
tadi telpon Pak Dwi lagi sakit jadi gak bisa jemput kamu”
“Kan
masih banyak taxi lain Bu” Aku merengek pada Ibu.
Ibu
kembali menatapku dengan tatapan jangan-membantah-lagi padaku.
“Ayo
Erwin kita berangkat”
---
Ada
yang aneh dimeja kerjaku. Begitu banyak boneka Barbie memenuhi mejaku dengan
pesan yang sama, sebuah permintaan maaf. Pasti ini kerjaan Erwin, batinku
kesal.
“Mas
mas, tolong ambilkan saya kardus bekas” Kataku pada Mas Parjo OB kantor yang
kebetulan lewat depan mejaku.
“Buat
apa mbak?”
“Buat
tempat boneka ini”
Mas
Parjo melongo menatap mejaku. “Buat anak saya satu boleh mbak?”
“Boleh,
5 juga boleh. Siapa yang iseng naruh boneka-boneka ini disini sih Mas?”
“Wah,
nggak tau mbak, saya juga baru masuk”
“Ciyeee….
Dila, romatis banget sih pagi-pagi dapat surprise boneka Barbie” Annisa, anak
department purchasing menggodaku sambil mengacung-acungkan salah satu Barbie
didepanku.
“tau
nih kerjaan orang iseng” jawabku sambil memasukkan boneka-boneka tersebut dalam
kardus
“abis
berantem sama pacar lu ya?” Tanya Anissa lagi setelah membuka satu persatu
kartu pada Boneka Barbie.
“nggak,
gue ga tau siapa yang kirim”
Anissa
menggumam tak jelas yang sama sekali tak kuperhatikan. Ku lalui hari ini dengan
mood yang tak bersahabat karena kejutan yang tak menyenangkan.
---
“Ibu,
besok ke Jogja ya sayang, Ibu dapat telpon tadi siang kalau Eyangmu sakit” Kata
Ibu saat kami menghabiskan waktu bersama didepan TV sepulangku kerja. Rutinitas
yang biasa kami lakukan bila aku sampai rumah tepat waktu karena tak disibukkan
oleh kerjaan.
“Ibu
nggak apa-apa sendirian? Dila nggak bisa ajuin cuti dadakan Bu” Aku memandang
Ibu khawatir.
“Ibu
kan udah biasa pergi sendirian, kok kamu sekarang yang jadi overprotecting sama
Ibu” Ibu mengulum senyum sambil mengelus rambutku.
Akupun
memeluk Ibu “Cuma Ibu yang Dila punya” gumamku lirih.
“Selama
Ibu pergi, kamu baik-baik sama Erwin ya, Ibu sudah titip pesan sama Erwin buat
jagain kamu selama Ibu pergi”
“Ibu
percaya sama Erwin? Gak ah, Dila nggak mau sama Erwin, Ibu nggak takut aku
diapa-apain Erwin?” kataku merajuk
“Ibu
percaya sama Erwin, pulang pergi kantor kamu dijemput Erwin, Ibu nggak mau
selama Ibu nggak disini sepulang kerja bukannya pulang tapi kamu malah
keluyuran sama temen-temen kamu”
“Emang
Erwin masih di Jakarta Bu?”
“Erwin
kan dipindah kantornya dikantor pusat
Jakarta sayang”
Rasanya
perutku seperti dipukul godam. Aku tak kan tahan bila bertemu dia setiap hari. Aku
tak kan bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja bila dia disampingku. Rasa benci
ini sama sekali belum berkurang sedikitpun kepadanya.
Ibu
berangkat keesokan harinya ke Jogja. Dan benar saja Erwin datang untuk
menjemputku.
“Sudah
sarapan la?” tanya Erwin setelah aku duduk disampingnya.
“udah”
dustaku. Padahal hari ini aku bangun kesiangan dan tidak sempat membuat sarapan
sendiri. Aku begitu tergantung pada Ibu untuk urusan dapur.
“beneran?
Kata Ibu kamu suka bangun kesiangan jadi kemungkinan ga sempet buat sarapan
sendiri”
Aku
melirik pada Erwin “udah deh win, gue udah gede, gue udah bisa jaga diri gue
sendiri”
Erwinpun
diam, memusatkan konsentrasinya pada jalanan yang belum terlalu macet pagi ini.
“lu
nanti pulang jam berapa?” tanya Erwin sesampainya didepan kantorku.
“gue
pulang sendiri aja”
“nggak
bisa, Ibu sudah titip pesen ke aku buat antar jemput kamu, nomor hp lu berapa?”
Aku
hanya memandang Erwin kesal dan buru-buru keluar dari mobilnya.
“kalau
lo ga ngasih tau gue bisa tanya Ibu”
“terserah”
jawabku sambil membanting pintu mobilnya karena kesal.
Kulewatkan
makan siang karena banyak sekali laporan tahunan yang harus kuselesaikan
segera. Semoga maagku tidak kambuh hari ini. Tapi nyatanya tidak, setelah
selesai makan malam, perutku malah perih dan sakit sekali. Ku keluarkan lagi makanan
yang telah masuk ke lambungku.
Dering
tanda panggilan masuk berbunyi. Nomor baru yang tak ku kenal. Ku reject
panggilan itu berkali-kali, tapi si penelpon tidak jera. Mungkin telpon penting
sehingga kuputuskan untuk mengangkatnya.
“Halo”jawabku
payah menahan mual.
“Dila,
lu nggak apa-apa?”
Kudengar
suara Erwin disebrang sana.
“aku
sakit”
Akupun
memutuskan sambungan karena sudah tak tahan dengan dorongan untuk memutahkan
kembali isi perutku. Sesampainya dimeja kerjaku ku lihat Erwin sudah disana. Bagaimana
dia bisa masuk? Tapi pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana dia bisa
tahu ruang kerjaku?
“Aku
diantar satpam didepan sampai kesini” kata Erwin seolah-olah dia bisa membaca
pikiranku. Tanpa diminta dia sudah membawakan tasku dan membopong tubuhku yang
hampir ambruk.
Sesudahnya
aku tak sadar apa yang telah dilakukannya. Hingga keesokan harinya, ketika aku
bangun sudah ada kompres didahiku, selimut hangat menutupi seluruh tubuhku dan
semangkok bubur yang asapnya masih mengepul di nakast samping tempat tidurku.
“sudah
bangun?” tanya suara itu lagi, suara Erwin. “makan dulu bubur kamu selagi
hangat, kamu seharian kemarin nggak makan?” suaranya lembut dan penuh
perhatian. Aku masih terkejut dengan apa yang telah dilakukannya. Rasa benci
yang selama ini ku simpan entah menguap kemana.
“lu
pulang aja gue bisa jaga diri sendiri” kataku ketus. Lebih karena pelampiasan
pada diriku sendiri yang tiba-tiba kehilangan rasa benci pada pria didepanku.
“Ibu
sudah memintaku untuk menjagamu, aku nggak bisa mengkhianati amanah ibumu”
“Ibu
tau gue sakit?”
Erwin
menggeleng “kamu pasti nggak mau ibu khawatirkan?”
Aku
menggangguk mengiyakan.
“kamu
mau aku bantu ke kamar mandi? Tanya Erwin saat melihatku kesulitan untuk bangun
karena kepalaku masih pening sekali.
“maaf,
aku semalam hanya melepas blazermu karena pasti kamu tidak nyaman memakainya
ketika tidur”
Kenapa
pria ini menjadi pria yang hangat dan perhatian? Kenapa dia memakai aku-kamu
ketika dia bicara padaku? Damn!! Tak seharusnya dia memperlakukanku seperti ini
karena sikapku yang tak pernah bersahabat kepadanya.
Aku
tak mengacuhkannya dan berusaha bangun dari tempat tidur, dia memegang lenganku
untuk membantuku berdiri tapi segera kutepiskan.
“gue
bisa sendiri” aku masih saja ketus.
Tapi
baru 2 langkah saja aku sudah limbung. Dia memelukku dari belakang agar aku
tidak jatuh. Kenapa aku terjebak dalam adegan sinetron? Batinku kesal.
“Hati-hati
La”
“thank,
sekarang gue yakin bisa sendiri, bisa tinggalin kamar gue? Gue mau ganti baju”
Dia
mengangguk dan menuruti permintaanku.
“bilang
ya kalau sudah selesai” Kata Erwin sebelum menutup pintu.
Lima
belas menit setelah keluar dari kamarku, Erwin mengetuk pintu kamarku yang
terkunci.
“udah
selesai La?”
“lu
pulang aja Win” jawabku dari dalam kamar.
“Kalau
lu nyuruh gue pulang, gue bakalan telpon Ibu dan ngasih tau kalau lu sakit”
Damn,
dia mengancamku. Kalau ibu tau aku sakit pasti beliau memintaku untuk
mengijinkan Erwin tetap tinggal disini untuk merawatku.
Dengan
langkah terseok-seok aku membukakan pintu kamarku.
Erwin
membawa sebuah vas bunga berisi bunga Lili yang masih segar dan menaruhnya
dinakastku.
“belum
dimakan buburnya La?”
“nggak
pengen, gue Cuma perlu tidur”
“kamu
makan buburnya, trus minum obat, perlu aku suapin?”
Akupun
mengambil bubur dinakastku. bubur itu
terasa pahit.
“lu
racunin buburnya ya win, kok pahit?” kataku sewot.
Erwin
tertawa. Aku tak tahu bagian mana yang lucu.
“kamu
kaya anak kecil aja La” Erwin mengulum senyum. “kita ke dokter ya”
Setelah
aku memakan seperempat buburku, Erwin memapahku ke mobil.
---
“Istri
anda tidak apa-apa Pak” Kata dokter setelah memeriksaku. Erwin terlihat menahan
tawa.
“dia
bukan suami saya dok” kataku risih.
“Ohh..
maaf, anda berdua kelihatan serasi sekali” si dokter terlihat menahan tawa
seperti yang dilakukan Erwin. Dokter Dimas, aku tahu namanya dari nametagnya,
seumuran dengan Erwin sepertinya.
“Jangan
telat makan dan terlalu lelah, maag anda bisa kambuh bukan hanya karena anda
telat makan, tapi bisa disebabkan stress, ini resep untuk ditebus diapotek”
“terima
kasih dok”
“Apakah
anda berdua menjalin hubungan khusus?”
Aku
terkejut mendengar pertanyaan dokter Dimas. Virus kepo tidak hanya melanda ABG
saja sepertinya.
“maaf,
pertanyaan saya tidak professional, tapi anda berdua kelihatan serasi dan cocok
satu sama lain”
“akan
saya pikirkan dok” sahutku asal untuk segera mengakhiri pembicaraanku dengan si
dokter kepo.
Selama
perjalanan pulang, ku lirik Erwin yang tersenyum-senyum sendiri setelah keluar
dari rumah sakit.
“elo
kenapa Win?” tanyaku ingin tahu.
“Sorry
ya La, temenku iseng”
“temen
lu siapa?”
“Si
Dimas, aku gak tau kalau dia kerja di rumah sakit itu” Erwin berdeham sebelum
melanjutkan bicaranya “beneran kamu mau mikirin saran Dimas?”
“yang
mana?” tanyaku bingung.
“tentang
kita yang cocok” jawab Erwin salah tingkah.
Kurasakan
pipiku menghangat. Seharusnya ini tidak terjadi. Hey… dimana rasa benci itu? Rasa
benci kepada pria yang telah menyebabkan Bapak meninggal? Aku berteriak-teriak
dalam hati karena frustasi pada diriku sendiri. Rasa benciku pada Erwin semakin
samar. Sebuah ketakutan tiba-tiba menyergapku. Aku ingin membenci Erwin, tapi
hati ini serasa menolak permintaanku. Bagaimana bisa hati dan logika ku tak
berjalan beriringan?
to be continue...
Comments
Post a Comment