Skip to main content

Seribu Barbie untuk Dila #2

Erwin kembali lagi dalam hidupku, pria yang sangat ku benci karena dialah penyebab Bapak meninggalkanku dan Ibu untuk selamanya. Dia kembali karena perjodohan yang direncanakan oleh Bu Harjo dan Ibu.

--- 


Seminggu berlalu sejak kedatangan Erwin dan Ibu Harjo. Aku menghadapi hariku seperti biasanya. Tapi ada yang aneh pagi ini. Saat aku sedang bersiap-siap berangkat ke kantor ku dengar ibu bercakap-cakap dengan seseorang dan sesekali tertawa akrab.
Jatungku hampir saja copot melihat seseorang didepanku. Yang menduduki kursi dimana aku terbiasa menikmati sarapan pagiku.
“Ngapain dia disini Bu?” Tanyaku dengan nada agak tinggi kepada ibu.
“Hush… wanita gak baik ngomong kasar didepan tamu”  Ibu Melotot padaku lalu wajahnya berubah hangat saat menatap Erwin.
“Nggak apa-apa kok Bu, Aku mau jemput kamu Dila” Kata Erwin lembut sambil memandangku.
Aku tertegun sesaat memandang mata Erwin. Ada kelembutan dan ketulusan dalam sorot matanya.
“Nggak perlu, aku sudah punya langganan taxi” Aku meliriknya sekilas lalu mendekati Ibu untuk pamit.
 “Ibu lupa bilang sama kamu, Istrinya Pak Dwi tadi telpon Pak Dwi lagi sakit jadi gak bisa jemput kamu”
“Kan masih banyak taxi lain Bu” Aku merengek pada Ibu.
Ibu kembali menatapku dengan tatapan jangan-membantah-lagi padaku.
“Ayo Erwin kita berangkat”
---
Ada yang aneh dimeja kerjaku. Begitu banyak boneka Barbie memenuhi mejaku dengan pesan yang sama, sebuah permintaan maaf. Pasti ini kerjaan Erwin, batinku kesal.
“Mas mas, tolong ambilkan saya kardus bekas” Kataku pada Mas Parjo OB kantor yang kebetulan lewat depan mejaku.
“Buat apa mbak?”
“Buat tempat boneka ini”
Mas Parjo melongo menatap mejaku. “Buat anak saya satu boleh mbak?”
“Boleh, 5 juga boleh. Siapa yang iseng naruh boneka-boneka ini disini sih Mas?”
“Wah, nggak tau mbak, saya juga baru masuk”
“Ciyeee…. Dila, romatis banget sih pagi-pagi dapat surprise boneka Barbie” Annisa, anak department purchasing menggodaku sambil mengacung-acungkan salah satu Barbie didepanku.
“tau nih kerjaan orang iseng” jawabku sambil memasukkan boneka-boneka tersebut dalam kardus
“abis berantem sama pacar lu ya?” Tanya Anissa lagi setelah membuka satu persatu kartu pada Boneka Barbie.
“nggak, gue ga tau siapa yang kirim”
Anissa menggumam tak jelas yang sama sekali tak kuperhatikan. Ku lalui hari ini dengan mood yang tak bersahabat karena kejutan yang tak menyenangkan.
---
“Ibu, besok ke Jogja ya sayang, Ibu dapat telpon tadi siang kalau Eyangmu sakit” Kata Ibu saat kami menghabiskan waktu bersama didepan TV sepulangku kerja. Rutinitas yang biasa kami lakukan bila aku sampai rumah tepat waktu karena tak disibukkan oleh kerjaan.
“Ibu nggak apa-apa sendirian? Dila nggak bisa ajuin cuti dadakan Bu” Aku memandang Ibu khawatir.
“Ibu kan udah biasa pergi sendirian, kok kamu sekarang yang jadi overprotecting sama Ibu” Ibu mengulum senyum sambil mengelus rambutku.
Akupun memeluk Ibu “Cuma Ibu yang Dila punya” gumamku lirih.
“Selama Ibu pergi, kamu baik-baik sama Erwin ya, Ibu sudah titip pesan sama Erwin buat jagain kamu selama Ibu pergi”
“Ibu percaya sama Erwin? Gak ah, Dila nggak mau sama Erwin, Ibu nggak takut aku diapa-apain Erwin?” kataku merajuk
“Ibu percaya sama Erwin, pulang pergi kantor kamu dijemput Erwin, Ibu nggak mau selama Ibu nggak disini sepulang kerja bukannya pulang tapi kamu malah keluyuran sama temen-temen kamu”
“Emang Erwin masih di Jakarta Bu?”
“Erwin kan dipindah kantornya dikantor pusat  Jakarta sayang”
Rasanya perutku seperti dipukul godam. Aku tak kan tahan bila bertemu dia setiap hari. Aku tak kan bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja bila dia disampingku. Rasa benci ini sama sekali belum berkurang sedikitpun kepadanya.
Ibu berangkat keesokan harinya ke Jogja. Dan benar saja Erwin datang untuk menjemputku.
“Sudah sarapan la?” tanya Erwin setelah aku duduk disampingnya.
“udah” dustaku. Padahal hari ini aku bangun kesiangan dan tidak sempat membuat sarapan sendiri. Aku begitu tergantung pada Ibu untuk urusan dapur.
“beneran? Kata Ibu kamu suka bangun kesiangan jadi kemungkinan ga sempet buat sarapan sendiri”
Aku melirik pada Erwin “udah deh win, gue udah gede, gue udah bisa jaga diri gue sendiri”
Erwinpun diam, memusatkan konsentrasinya pada jalanan yang belum terlalu macet pagi ini.
“lu nanti pulang jam berapa?” tanya Erwin sesampainya didepan kantorku.
“gue pulang sendiri aja”
“nggak bisa, Ibu sudah titip pesen ke aku buat antar jemput kamu, nomor hp lu berapa?”
Aku hanya memandang Erwin kesal dan buru-buru keluar dari mobilnya.
“kalau lo ga ngasih tau gue bisa tanya Ibu”
“terserah” jawabku sambil membanting pintu mobilnya karena kesal.
Kulewatkan makan siang karena banyak sekali laporan tahunan yang harus kuselesaikan segera. Semoga maagku tidak kambuh hari ini. Tapi nyatanya tidak, setelah selesai makan malam, perutku malah perih dan sakit sekali. Ku keluarkan lagi makanan yang telah masuk ke lambungku.
Dering tanda panggilan masuk berbunyi. Nomor baru yang tak ku kenal. Ku reject panggilan itu berkali-kali, tapi si penelpon tidak jera. Mungkin telpon penting sehingga kuputuskan untuk mengangkatnya.
“Halo”jawabku payah menahan mual.
“Dila, lu nggak apa-apa?”
Kudengar suara Erwin disebrang sana.
“aku sakit”
Akupun memutuskan sambungan karena sudah tak tahan dengan dorongan untuk memutahkan kembali isi perutku. Sesampainya dimeja kerjaku ku lihat Erwin sudah disana. Bagaimana dia bisa masuk? Tapi pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana dia bisa tahu ruang kerjaku?
“Aku diantar satpam didepan sampai kesini” kata Erwin seolah-olah dia bisa membaca pikiranku. Tanpa diminta dia sudah membawakan tasku dan membopong tubuhku yang hampir ambruk.
Sesudahnya aku tak sadar apa yang telah dilakukannya. Hingga keesokan harinya, ketika aku bangun sudah ada kompres didahiku, selimut hangat menutupi seluruh tubuhku dan semangkok bubur yang asapnya masih mengepul di nakast samping tempat tidurku.
“sudah bangun?” tanya suara itu lagi, suara Erwin. “makan dulu bubur kamu selagi hangat, kamu seharian kemarin nggak makan?” suaranya lembut dan penuh perhatian. Aku masih terkejut dengan apa yang telah dilakukannya. Rasa benci yang selama ini ku simpan entah menguap kemana.
“lu pulang aja gue bisa jaga diri sendiri” kataku ketus. Lebih karena pelampiasan pada diriku sendiri yang tiba-tiba kehilangan rasa benci pada pria didepanku.
“Ibu sudah memintaku untuk menjagamu, aku nggak bisa mengkhianati amanah ibumu”
“Ibu tau gue sakit?”
Erwin menggeleng “kamu pasti nggak mau ibu khawatirkan?”
Aku menggangguk mengiyakan.
“kamu mau aku bantu ke kamar mandi? Tanya Erwin saat melihatku kesulitan untuk bangun karena kepalaku masih pening sekali.
“maaf, aku semalam hanya melepas blazermu karena pasti kamu tidak nyaman memakainya ketika tidur”
Kenapa pria ini menjadi pria yang hangat dan perhatian? Kenapa dia memakai aku-kamu ketika dia bicara padaku? Damn!! Tak seharusnya dia memperlakukanku seperti ini karena sikapku yang tak pernah bersahabat kepadanya.
Aku tak mengacuhkannya dan berusaha bangun dari tempat tidur, dia memegang lenganku untuk membantuku berdiri tapi segera kutepiskan.
“gue bisa sendiri” aku masih saja ketus.
Tapi baru 2 langkah saja aku sudah limbung. Dia memelukku dari belakang agar aku tidak jatuh. Kenapa aku terjebak dalam adegan sinetron? Batinku kesal.
“Hati-hati La”
“thank, sekarang gue yakin bisa sendiri, bisa tinggalin kamar gue? Gue mau ganti baju”
Dia mengangguk dan menuruti permintaanku.
“bilang ya kalau sudah selesai” Kata Erwin sebelum menutup pintu.
Lima belas menit setelah keluar dari kamarku, Erwin mengetuk pintu kamarku yang terkunci.
“udah selesai La?”
“lu pulang aja Win” jawabku dari dalam kamar.
“Kalau lu nyuruh gue pulang, gue bakalan telpon Ibu dan ngasih tau kalau lu sakit”
Damn, dia mengancamku. Kalau ibu tau aku sakit pasti beliau memintaku untuk mengijinkan Erwin tetap tinggal disini untuk merawatku.
Dengan langkah terseok-seok aku membukakan pintu kamarku.
Erwin membawa sebuah vas bunga berisi bunga Lili yang masih segar dan menaruhnya dinakastku.
“belum dimakan buburnya La?”
“nggak pengen, gue Cuma perlu tidur”
“kamu makan buburnya, trus minum obat, perlu aku suapin?”
Akupun mengambil bubur dinakastku.  bubur itu terasa pahit.
“lu racunin buburnya ya win, kok pahit?” kataku sewot.
Erwin tertawa. Aku tak tahu bagian mana yang lucu.
“kamu kaya anak kecil aja La” Erwin mengulum senyum. “kita ke dokter ya”
Setelah aku memakan seperempat buburku, Erwin memapahku ke mobil.
---
“Istri anda tidak apa-apa Pak” Kata dokter setelah memeriksaku. Erwin terlihat menahan tawa.
“dia bukan suami saya dok” kataku risih.
“Ohh.. maaf, anda berdua kelihatan serasi sekali” si dokter terlihat menahan tawa seperti yang dilakukan Erwin. Dokter Dimas, aku tahu namanya dari nametagnya, seumuran dengan Erwin sepertinya.
“Jangan telat makan dan terlalu lelah, maag anda bisa kambuh bukan hanya karena anda telat makan, tapi bisa disebabkan stress, ini resep untuk ditebus diapotek”
“terima kasih dok”
“Apakah anda berdua menjalin hubungan khusus?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan dokter Dimas. Virus kepo tidak hanya melanda ABG saja sepertinya.
“maaf, pertanyaan saya tidak professional, tapi anda berdua kelihatan serasi dan cocok satu sama lain”
“akan saya pikirkan dok” sahutku asal untuk segera mengakhiri pembicaraanku dengan si dokter kepo.
Selama perjalanan pulang, ku lirik Erwin yang tersenyum-senyum sendiri setelah keluar dari rumah sakit.
“elo kenapa Win?” tanyaku ingin tahu.
“Sorry ya La, temenku iseng”
“temen lu siapa?”
“Si Dimas, aku gak tau kalau dia kerja di rumah sakit itu” Erwin berdeham sebelum melanjutkan bicaranya “beneran kamu mau mikirin saran Dimas?”
“yang mana?” tanyaku bingung.
“tentang kita yang cocok” jawab Erwin salah tingkah.
Kurasakan pipiku menghangat. Seharusnya ini tidak terjadi. Hey… dimana rasa benci itu? Rasa benci kepada pria yang telah menyebabkan Bapak meninggal? Aku berteriak-teriak dalam hati karena frustasi pada diriku sendiri. Rasa benciku pada Erwin semakin samar. Sebuah ketakutan tiba-tiba menyergapku. Aku ingin membenci Erwin, tapi hati ini serasa menolak permintaanku. Bagaimana bisa hati dan logika ku tak berjalan beriringan? 

to be continue...

Comments

Popular posts from this blog

Berbagi Pengalaman : Patah Tulang Lengan Atas Part 2

Bagi yang belum baca part 1, bisa klik link ini http://nuergic.blogspot.co.id/2016/06/berbagi-pengalaman-patah-tulang-lengan.html                                                       Perpindahanku ke rumah sakit yang penuh drama saat itu karena aku seorang yang ngotot untuk pindah ke RS. Teman-teman dekat & teman kerja semua menyarankan untuk menunggu hari selasa saat perban tanganku diganti. Tapi waktu itu aku udah ketakutan setengah mati, vonis satu bulan hanya tiduran saja membuatku takut setengah mati. 

How to Create Crossword Puzzle by Using EclipseCrossword

I got a task last weeks from my lecturer to create a crossword using Microsoft word. There’re two ways to make a crossword puzzle using Microsoft word : - Create crossword puzzle using available crossword puzzle template - Create manually using table Both of that way is quite hassle. But, we can try another way that is easier by using EclipseCrossword software. That file size is only 513 KB. You can download the latest software from this official website. Click here for download. If the program has been installed in your computer, let’s go through the steps involved in creating a puzzle of our own.

Dancing Under The Rain

source : google Ku pandangi wajahnya yang terlelap, aku terhanyut dalam lamunan. Ku belai rambutnya kemudian dia menggeliat. “Pelor, bangun woy” kusembunyikan rasa gugupku pada teriakku. Dia hanya menggeliat kemudian menarik selimutnya menutupi kepala.