Sedikit banyak aku sudah menerima kedatangan Erwin dihidupku. Tapi bila mengingat Bapak entah kenapa rasa benci kepadanya rasanya tak pernah berkurang. Oke mungkin aku sudah cukup dewasa untuk tidak menghindar dan lari dari masalah seperti yang ku lakukan dulu.
“Ibu
senang lihat kamu dan Erwin rukun La” kata ibu ketika menemaniku sarapan
“Dila
udah dewasa Bu, seperti permintaan ibu, Dila hanya menjaga sikap aja sama dia”
“Jadi,
kamu belum mau dijodohkan sama Erwin?” Air muka ibu terlihat kecewa
“Dila
nggak suka sama Erwin bu, Dila ingin menikah dengan orang yang Dila cintai”
“Cinta
bisa tumbuh sejalan dengan berjalannya waktu Dila”
Aku
menggengam tangan ibu. “Biar Dila jalanin dulu ya Bu, Dila belum ingin menikah
dan berpisah dengan ibu” Ibu membalas genggamanku dan tersenyum hangat. Akupun
beranjak untuk memeluk Ibu.
---
“Kenapa
berhenti Win?” Tanyaku bingung ketika Erwin menghentikan mobilnya mendadak.
Seperti biasanya dia menjemputku sepulang kerja tapi kami sama-sama diam selama
perjalanan, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Erwin
berdeham “ Aku pengen ngomong sama kamu La”
“Ngomong
aja” jawabku dingin.
Erwin
menjambak rambutnya frustasi. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya malam ini.
“Aku
sayang kamu La” kata Erwin pelan
Aku
menatap Erwin bingung.
“Kalau
kamu marah sama aku karena boneka Barbie yang aku corat-coret dulu, aku minta
maaf, aku akan menggantinya dengan seribu Barbie asal kau tidak mengacuhkanku
seperti ini”
“Barbie
yg dikirim ke kantor beberapa minggu yang lalu itu dari lo?”
Erwin
mengangguk pelan.
“Asal lu
tau aja Win, bukan boneka itu masalahnya” Suaraku terdengar gemetar karena amarah
yang tiba-tiba menyelimutiku.
“Tolong
katakan padaku La, apa salahku supaya aku bisa memperbaikinya”
“Nggak
ada yang bisa kamu perbaiki, nyawamu pun tak cukup berharga untuk membayarnya”
Erwin
menatapku nanar. Aku menyesal telah berkata kasar pada Erwin. Ku buka pintu
mobil dan berjalan keluar untuk menjauh dari Erwin, menjauh sejauh-jauhnya.
Tapi Erwin mengejarku kemudian menarik pergelangan tanganku.
“La, aku
perlu tahu alasan kenapa kau membenciku La”
Aku mencoba
menarik tanganku dari genggaman Erwin tapi sia-sia.
“Oke,
oke kalo lu mau tahu” aku mendesis kesal. Air mataku sudah meleleh dan tak
terbendung lagi “Gue benci sama lu, karena lu penyebab kematian Bapak”
Erwin melepas
pergelangan tanganku “Kalau lu gak coret-coret Barbie gue, ibu gak akan buang
Barbie dan Bapak ga perlu pergi disore naas itu untuk membelikanku Barbie baru,
kalau lu gak coret-coret Barbie gue, Bapak pasti masih hidup sampai sekarang
dan ibu nggak akan menderita membanting tulang untuk menghidupiku”
Kulihat
taxi dan kulambaikan tanganku. Begitu taxi berhenti aku segera memasukinya.
Sedangkan ku lihat Erwin masih mematung dipinggir jalan.
Mungkin
kata-kataku keterlaluan. Tapi aku sudah tidak bisa menarik kembali kata-kataku
lagi. Mungkin setelah kejadian ini Erwin tak akan lagi berani mendekatiku. Semoga
saja.
---
“La,
kamu kok naik taxi? Erwin mana?” tanya Ibu ketika membukakan pintu untukku.
“Dila
pulang sendiri bu, Erwin ada meeting katanya” Dustaku
“Kamu
bohong, Ibu tadi telpon Erwin dia bilang lagi jalan jemput kamu kok, dia janji
mau ikut makan malam bareng kita”
Telpon
rumah tiba-tiba berdering. Aku menghembuskan nafas lega. Ibu memandangku
meminta penjelasan sebelum mengangkat telpon.
Aku
bergegas masuk kamar. Samar-samar aku mendengar beberapa kali ibu menyebut nama
Erwin.
“Dila,
Dila” Ibu mengetuk pintu sambil memanggilku histeris.
“Kenapa
Bu?”
“Erwin
nak, Erwin kecelakaan, sekarang kritis”
Aku diam
mematung.
“Kamu
kenapa diam saja, cepat ganti baju”
Aku
masuk kembali ke kamar dan hanya menyambar sweaterku.
Ibu
menangis sepanjang perjalanan.
“Duh
gusti, kenapa bisa terjadi, apa nak Erwin kecelakaan saat perjalanan
menjemputmu ya Nak?”
“Ibu
udah telpon orang tua Erwin?”
“Sudah,
mereka baru dapat tiket pesawat untuk penerbangan besok pagi, semoga Erwin gak
apa-apa ya”
“Erwin
gak bakal kenapa-kenapa Bu” aku menggenggam tangan Ibu menguatkannya dan menguatkan
diriku sendiri.
Aku seperti
mengulang kisah lama ketika Bapak kecelakaan. Aku takut kehilangan untuk kedua
kalinya.
---
“Apakah
Ibu orang tua Erwin?”
“Bukan
dokter, saya sahabat orang tuanya” Ibu menjawab sambil mengusap airmatanya.
“Erwin
kehilangan banyak darah Bu, bank darah kami sedang kehabisan stock untuk
golongan darah B”
“Golongan
darah saya B dokter” kataku ragu.
“Baik,
mari ikut saya”
Aku
memegang bahu ibu. “semua akan baik-baik saja Bu”
Walaupun
Erwin adalah penyebab kematian Bapak, tapi aku tak akan sanggup dihantui rasa
bersalah disisa hidupku bila Erwin tidak selamat. karena secara tidak langsung
akulah penyebab kecelakaan Erwin.
Suster
menyatakan aku siap untuk melakukan donor darah. Aku berbaring disamping Erwin.
Kulihat Erwin yang tak berdaya. Benda-benda medis menempel disekujur tubuhnya.
Dia kritis. Tiba-tiba saja aku merindukan senyumnya saat merawatku ketika aku
sakit. Tiba-tiba saja aku merasa tak lagi membencinya. Aku takut kehilangan
Erwin. Air mataku mengalir tanpa kusadari.
“Ibu
pulang saja istirahat, biar Dila yang menjaga Erwin” Kataku pada Ibu, saat ku
lihat beliau masih duduk diluar menungguku.
Ibu
memandangku. Kulihat kesedihan mendalam dimatanya.
“Dila,
ada sesuatu yang perlu kamu tahu”
“ada apa
bu?”
“Sebenarnya
Ibu tak pernah ada niat untuk menjodohkanmu dengan Erwin nak, Erwin yang
memintanya pada Ibu. Ketika Ibu melihat kesungguhan dalam matanya entah kenapa
ibu jadi berpikir hanya Erwin yang bisa menjaga kamu sepenuh hati kalau nanti
ibu harus menyusul Bapak” Ibu berhenti untuk mengusap air matanya.
“Erwin
merasakan perbedaan sikapmu setelah bapak meninggal sayang, dia dihantui rasa
bersalah sepanjang hidupnya karena dia merasa sebagai penyebab kematian Bapak,
dia ingin mendekatimu dan menghiburmu saat itu tapi kamu selalu menghindarinya,
lalu dia sadar kepergiannya bersama orang tuanyalah yang terbaik, kamu tak akan
terusik lagi olehnya”
“Udah
bu, ga usah diteruskan” pintaku sambil terisak.
“Apakah
yang dikatakan Erwin benar?”
Aku diam
tak mampu menjawab.
“Kematian
Bapak itu takdir sayang, sudah digariskan oleh-Nya, bukan salah Erwin, bukan
salah siapa-siapa, Tuhan menguji kemandirian kita tanpa Bapak, walaupun berat
ternyata kita bisa kan?”
Aku
hanya menganggguk kemudian memeluk ibu.
“Kamu
harus minta maaf kalo Erwin sadar” kata Ibu sambil mengelus kepalaku.
Aku
hanya mengangguk dalam pelukan Ibu, tak lagi mampu berkata-kata.
---
“Maafin
gue win, maafin sikap kenak-kanakkan gue” aku terisak disisi Erwin sambil
menggenggam tangannya.
“Cepet
sadar ya win, aku pengen kamu benar-benar sadar saat aku bilang aku sayang
kamu”
Sisa
malam ku habiskan dengan menangis hingga tanpa sadar aku terlelap. Aku bermimpi berbincang-bincang hangat dengan
Erwin disebuah taman.
“Dila”
Aku
mendengar seseorang memanggil namaku dan mengelus kepalaku. Dengan mata yang
belum sepenuhnya terbuka aku bisa melihat samar-samar senyum hangat yang sangat
aku rindukan
“Erwin”
aku menjawab parau
Erwin
kembali tersenyum, sedangkan aku entah kenapa malah menangis terisak.
“Jangan
nangis”
“Kalau
kamu gak sadar kaya gini lagi aku bakalan benci kamu seumur hidup, kamu buat
aku khawatir setengah mati”
Erwin
tersenyum sambil mengusap air mata dipipiku. Dan kemudian aku dikejutkan sebuah
fakta, bahwa aku mencintai pria didepanku dan tak rela kehilangannya untuk
kedua kali.
---
--Bonus--
“La, aku perlu tahu alasan kenapa kau membenciku La” tanyaku pada perempuan yang setengah mati kucintai. Tapi dia malah mencoba melepaskan genggaman tanganku dilengannya.
“La, aku perlu tahu alasan kenapa kau membenciku La” tanyaku pada perempuan yang setengah mati kucintai. Tapi dia malah mencoba melepaskan genggaman tanganku dilengannya.
“Oke, oke kalo lu mau tahu” Dila menangis
ketika menjawab pertanyaanku “Gue benci sama lu, karena lu penyebab kematian
Bapak”
Jawaban
dari Dila adalah hal yang paling ku takutkan selama ini. Dugaanku benar, dia
membenciku karena akulah penyebab kematian Ayahnya. Tanpa sadar kulepas
genggamanku.
“Kalau
lu gak coret-coret Barbie gue, ibu gak akan buang Barbie dan Bapak ga perlu
pergi disore naas itu untuk membelikanku Barbie baru, kalau lu gak coret-coret
Barbie gue, Bapak pasti masih hidup sampai sekarang dan ibu nggak akan
menderita membanting tulang untuk menghidupiku”
Aku diam
membeku. Bahkan saat ku lihat Dila memasuki taksi aku tak bereaksi sama sekali.
Entah berapa lama aku berdiri diam. Ketika aku memperoleh kesadaranku kembali
aku segera memacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Aku mengemudi bak orang
kesetanan. Tiba-tiba ada seseorang yang menyebrang didepanku sehingga aku
membanting stir ke kiri untuk menghindarinya. Mobilku menabrak pohon. Itulah hal
yang kuingat terakhir kalinya.
Aku
seperti berjalan dalam rongga putih yang seperti tak berujung. Tapi ternyata
aku salah. Aku melihat senyum Dila diujung jalan. Dia melambai-lambai padaku. Aku
berlari. Tapi mimpi itu putus begitu saja. Aku melihat sekelilingku, dinding
putih, infus, dan alat-alat medis lainnya. Dan seorang yang sangat kucintai
sedang tertidur disampingku.
“Dila”
aku memanggilnya pelan.
Dia mengangkat
kepalanya lalu mencoba untuk membuka matanya.
“Erwin”
jawabnya dengan suara parau
Aku
melihatnya terisak perlahan dan air mata mengalir dipipinya.
“Jangan nangis”pintaku lemah
“Kalau
kamu gak sadar kaya gini lagi aku bakalan benci kamu seumur hidup, kamu buat
aku khawatir setengah mati”
Aku
mengusap air matanya. Dia seperti ingin memelukku tapi kemudian tersadar dengan
alat-alat medis yang menempel dibadanku.
“Aku
sayang kamu Dila”
“Kalau
sayang, jangan ga sadar kaya gini lagi” rengekan Dila membuatku ingin segera
bangkit.
“Aku
janji” Jawabku mantap. Aku tak akan lemah seperti ini lagi Dila, Aku tak ingin
kehilangan moment indah bersamamu dengan sakit seperti ini. Aku janji karena Aku
mencintaimu sepenuh hatiku.
Seribu Barbie untuk Dila #1
Seribu Barbie untuk Dila #2
--End--
Seribu Barbie untuk Dila #1
Seribu Barbie untuk Dila #2
Comments
Post a Comment