Di tempat sedingin ini aku seharusnya memaksa
tubuhku bergerak supaya tetap hangat. Tapi rasanya aku tak memiliki kekuatan
untuk sekedar berdiri, mataku berat sekali.
“Aku pasti baik-baik saja, setidaknya aku sudah di sini”
batinku saat ku rebahkan tubuhku dengan alas kain yang ku bawa. Dinginnya tanah
masih terasa di punggungku.
Aku mengeluarkan sebuah foto dari saku jaketku. Sebuah
jepretan polaroid dengan sebuah catatan kecil di bawah foto.
“Kamu harus ke sini!” kata-kata penyemangat yang membawaku
sampai di sini.
Tidak pernah ku bayangkan sebelumnya, menempuh perjalanan
dari Jakarta ke Banyuwangi kemudian mendaki gunung Ijen seorang diri. Butuh
suntikan energi luar biasa untuk bisa menggerakkan ku sampai sini. Dan semuanya
karena kamu. Demi bisa menepati janjiku padamu.
“Aku sudah melihat kawahnya tapi aku tak seberuntung kamu
bisa melihat blue fire-nya” aku
bergumam.
“Nggak apa-apa, setidaknya kamu sudah sampai sini”
Aku tersentak kaget. Buru-buru menengok ke sumber suaramu.
“Sejak kapan kamu di sini?” aku menggapai tanganmu dan
dengan sigap kau membantuku berdiri.
Kamu tersenyum misterius.
“Seharusnya kamu duduk di sebelah sana, di bawah pohon itu”
Aku mengikuti arah pandang matamu. Perlu sedikit mendaki
lagi untuk bisa sampai ke Pohon yang kau tunjuk.
“Aku tidak kuat kalo harus mendaki lagi, di sini pun sudah kelihatan
kawahnya”
“Dasar pemalas!”
Kamu mengusap kepalaku. Jantungku sudah tak ditempatnya ku rasa.
“Aku rindu kamu”
“Aku juga”
“juga apa?” Aku bertanya menuntut
“Semuanya harus dijelaskan dengan kata-kata ya?”
“Setidaknya kamu harus mengucapkannya sekali , supaya aku
yakin benar dengan perasaanmu”
Kamu bergeming
“Setidaknya, beri aku kesempatan mendengarnya sekali sebelum
kamu pergi” Aku mendongak, menelan kembali air mata yang hampir jatuh.
“Kamu seharusnya bisa membaca perasaanku padamu dari segala
tindakanku, Nada.”
“Sulitkah mengatakannya sekali?”
Kamu terdiam. Pandangmu jauh. Aku tahu kamu tidak akan
pernah mengatakannya.
“Apakah kita akan pulang bersama?” Aku berharap kamu
menjawab pertanyaanku kali ini.
Kamu kemudian menatapku, “belum saatnya, kali ini kamu masih
harus pulang ke rumah”
Wajahmu mendekat, “Raka cinta Nada” kamu membisikkan
kata-kata yang selama ini ku tunggu kemudian mencium pipiku lembut. Aku terlalu
kaget untuk bisa bereaksi.
Aku ingin membalas, tapi paru-paruku meronta . Aku
terbatuk-batuk tidak mau berhenti.
“Mbak, nggak apa-apa mbak?” tanya seseorang di sampingku. Aku
membuka mata dan batuk ku mereda.
“Alhamdulillah” ucapnya bersyukur lega.
Banyak orang yang mengerumuniku dan saling berbisik dengan orang di sebelahnya.
“Minum dulu mbak”
seseorang membantuku duduk dan menyodorkan sebotol air padaku.
“Mbaknya pingsan...”
Aku tak mendengarkan penjelasannya. Aku hanya sedang
mengingat-ingat dirimu seperti orang linglung.
Comments
Post a Comment